touring

touring
bersama teman

Selasa, 17 Agustus 2010

STATUS PENDUDUK DUNIA DAN HUKUMNYA MENURUT ISLAM

II.



PENGANTAR

Berdasar tinjauan syariat, penduduk dunia dibagi menjadi dua golongan yaitu muslim dan kafir. Orang yang beriman kepada Alloh dan Rasulullah adalah seorang muslim, sedang orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasulullah adalah orang kafir, apapun bentuk keyakinan dan agama yang mereka anut karena semua bentuk kekafiran itu adalah satu millah (الكفر ملة واحدة ), sebagaimana pendapat imam Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Dawud dan Ahmad bin Hambal, berdasarkan firman Alloh:
ولن ترضى عنك اليهود ولا النصارى حتى تتبع ملتهم
“ Sekali-kali orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepadamu sampai kau mengikuti milah mereka.” [QS. Al Baqarah :120].
لكم دينكم ولي دين
“ Bagi kalian dien (agama) kalian dan bagiku dien (agama) ku.” [QS. Al Kafirun :6].
Dan sabda Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa salam :
“لا يتوارث أهل الملتين
Penganut dua millah yang berlainan tidak saling mewarisi.”
Yang dimaksud dengan dua milah di sini adalah Islam dan kafir, dengan dalil sabda Rosul:
“لا يرث المسلم الكافر “ (Orang muslim tidak mewarisi oran kafir).


A. MUSLIM

Yang dimaksud dengan muslim dalam pembagian ini adalah orang yang memeluk agama Islam sebagai aqidah, ibadah ataupun aturan hidup. Orang-orang yang secara dhohir memiliki identitas keislaman yang syah secara syar’i, maka ia dihukumi sebagai orang Islam tanpa harus meneliti apa yang tersembunyi dalam hatinya. Islamnya syah secara syar’i dan kita menghukumi orang secara dhohir. Begitu pula jika seseorang diketahui melakukan amalan yang membatalkan keislaman, maka kita hukumi pula sebagaimana yang nampak oleh kita, atas batalnya keislaman orang tersebut, dan tentunya setelah mengkaji syarat-ayarat dan mawani’nya dalam menghukumi kekafiran seseorang .
Tegasnya, menghukumi seorang mukallaf berdasar dhahirnya. Siapa menampakkan keislaman, maka dihukumi sebagai seorang muslim dan siapa menampakkan kekafiran maka dihukumi sebagai seorang kafir setelah terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran dan tidanya penghalang (mawani’).

A.1- Tanda-Tanda Keislaman Yang Sah

Maksudnya, tanda-tanda yang hanya dimiliki oleh umat Islam saja. Bila seseorang telah memilikinya, maka tak perlu diteliti terlebih dahulu untuk meyakinkan keislaman orang tersebut. Adapun identitas Islam yang syah secara syar’i adalah:
1. Mengucapkan dua kalimat Syahadat.
Dalilnya adalah sabda Rosululloh:
عن أبي هريرة أن النبي صبى الله عليه وسلم قال : أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا أن لا إله إلا الله. فمن قال لا اله إلا الله عصم مني ماله و بفسه إلا بحقه وحسابه على الله عز وجل.
Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda,” Aku diutus untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan laa ilaaha illalloh. Maka siapa telah mengucapkan laa ilaaha illalloh, berarti ia telah menjaga harta dan nyawanya dariku. Kecuali yang menjadi haknya, dan hisabnya terserah Alloh.”
Ibnu Rajab Al Hambali berkata,” Sudah diketahui secara dharuri bahwa nabi menerima setiap orang yang datang kepada beliau untuk masuk Islam hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja. Dengan ucapan itu, ia menjaga darahnya dan menjadi seorang muslim dan nabi telah mengingkari Usamah bin Zaid ketika membunuh orang yang mengucapkan laa ilaaha illa Allah saat pedang Usamah sudah di atas kepalanya, dan pengingkaran beliau kepada Usamah dalam hal itu sangat keras. Nabi juga tidak mensyaratkan orang yang datang masuk Islam untuk melazimi sholat dan zakat. Bahkan, telah diriwayatkan bahwa beliau menerima keislaman sebuah kaum padahal mereka mensyaratkan tidak akan membayar zakat. Dalam musnad Ahmad :

عن جابر : اشترطت ثقيف على رسول الله أن لا صدقة عليها ولاجهاد وأن رسول الله قال : سيصدقون و يجاهدون.

Dari Jabir ia berkata,” Bani Tsaqif mensyaratkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam untuk tidak bershadaqah dan berjihad. Maka Rasulullah bersabda,” Nanti mereka akan bershadaqah dan berjihad.”
Juga dari Nashr bin Ashim Al Laitsy dari seorang bani Tsaqif bahwa ia datang kepada nabi dan masuk Islam dengan mensyaratkan idak akan sholat kecuali dua kali sholat saja. Maka beliau menerima syarat tersebut.”
Dengan hadits-hadits inilah imam Ahmad berpendapat dan mengatakan,” Keislaman shah meski dengan syarat yang rusak. Lalu ia diwajibkan dengan seluruh syariat Islam.” Beliau juga berdalil dengan Hakim bin Hizam yang mengatakan,” Saya membaiat Nabi untuk tidak sujud kecuali dalam keadaan berdiri.” Imam Ahmad mengatakan,” Maknanya ia sujud tanpa membungkukkan badan.”
Dengan keterangan yang kami tetapkan ini nampaklah pengkompromian antara berbagai hadits dalam bab ini dan nampaklah bahwa semua hadits ini benar. Sesungguhnya hanya dengan dua kalimat syahadat saja sudah menjaga orang yang mengucapkannya dan menjadikannya seorang muslim. Jika ia telah masuk Islam, jika ia sholat, zakat, dan melaksanakan syariat-syariat Islam, maka ia mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana kaum muslimin. Jika ia meninggalkan salah satu rukun ini, jika mereka sebuah kelompok yang mempunyai kekuatan, maka mereka diperangi.
Ibnu Hajar berkata,” Dalam hadits ini adalah larangan membunuh orang yang mengucapkan laa ilaaha illalloh walaupun tidak ada tambahannya sedikitpun, akan tetapi apakah hanya dengan hal itu ia menjadi seorang muslim? Yang benar adalah tidak akan tetapi tidak boleh kita bunuh sampai teruji pernyataannya tersebut.”

عن أسامة بن زيد قال :بعثنا رسول الله الى الحرقة من جهينة فصبحنا القوم فهزمناهم ولحقت انا ورجل من الأنصار رجلا منهم فلما غشيناه قال لا اله إلا الله. فكف عنه الأنصار وطعنته برمحي حتى قتلته. فلما قدمنا بلغ ذلك النبي صلى الله عليه وسلم فقال لي : يا أسامة أقتلته بعد ما قال لا إله إلا الله ؟ قلت : يا رسول الله إنما كان متعوذا. قال : أقتلته بعد ما قال لا إله إلا الله ؟ فمازال يكررها حتى تمنيت أني لم أكن أسلمت قبل ذلك اليوم.

Dari Usamah bin Zaid ia berkata,” Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam mengutus kami ke Huroqoh dari Juhainah. Lalu kami menyergap mereka di waktu pagi dan mengalahkan mereka. Lalu saya bersama orang anshor mengejar seseorang dari mereka. Setelah kami menguasainya, ia mengucapkan laa ilaaha illalloh. Orang anshor tersebut tidak menahan dirinya (tidak membunuhnya), maka kutusuk ia dengan tombakku sampai mati. Ketika kami sampai di Madinah dan berita itu sampai kepada Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda kepadaku:
“ Wahai Usamah, apakah kau bunuh padahal dia telah mengucapkan laa ilaaha illalloh?” Lalu kujawab,” Wahai Rosululloh, ia mengatakannya hanya untuk melindungi dirinya.” Beliau bersabda lagi,” Wahai Usamah, apakah kau bunuh padahal dia telah mengucapkan laa ilaaha illalloh?” Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam terus mengulang-ulangnya sampai-sampai saya berangan-angan seandainya aku tidak masuk Islam sebelum hari itu.

Dalam riwayat Muslim :

أقال لا اله إلا الله وقتلته ؟ قات :با رسول الله إنما قالها خوفا من السلاح. قال : أفلا شققت عن قلبه حتى تعلم أقالها أم لا.
“ Apakah ia sudah mengucapkan laa ilaaha illalloh lalu tetap kamu bunuh ?” Usamah menjawab,”Ya Rasulullah, ia mengucapkannya karena takut kepada senjata.” Rasulullah bersabda,” Apakah sudah kau belah dadanya sehingga kamu mengetahui ia mengatakanmnya atau tidak.”
Hadits ini adalah dalil bahwasanya barang siapa mengucapkan laa ilaaha illalloh, maka ia adalah seorang muslim yang darahnya terjaga, tidak boleh dibunuh dan dihalalkan darahnya kecuali ia melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang menjadikan ia kafir.

2. Pengakuan seseorang bahwa ia seorang muslim atau ia berkata aku beriman kepada Alloh atau perkataan yang senada dengan hal itu.
Dalilnya adalah :

عن المقداد بن الاسود انه قال لرسول الله : أرأيت إن لقيت رجلا من الكفار فاقتتلنا فضرب إحدى بدي بالسيف فقطعها ثم لاذ مني بشجرة فقال : أسلمت لله! أقتلته يا رسول الله بعد ان قالها ؟ فقال رسول الله : لا تقتله فإن قتلته فإنه بمنزلتك قبل أن تقتله وإنك بمنزلته قبل أن يقول كلمته التى قال.

Dari Al-Miqdad bin Al-Aswad ra. ia berkata,” Wahai Rosululloh. Apa pendapatmu kalau saya bertemu dengan orang kafir lalu kami berperang dan ia memotong salah satu tanganku dengan pedangnya, lalu ia berlindung dengan sebuah pohon dan berkata,” Saya masuk Islam.” Apakah saya boleh memeranginya setelah ia mengucapkan kata-kata tersebut ?” Maka Rasulullah menjawab,” Jangan kau bunuh dia. Jika kamu bunuh dia, maka sesungguhnya status dia adalah status kamu sebelum kamu membunuhnya dan status kamu adalah status dia sebelum dia mengucapkan kalimat yang diucapkannya.”

عن عبد الله بن عمر قال : بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم خالد بن الوليد الى بني جذيمة فدعاهم الى الإسلام فلم يحسنوا أن يقولوا أسلمنا. فجعلوا يقولون صبأنا صبأنا. فجعل خالد يقتل فيهم و يأسر ودفع الى كل رجل منا أسيره. حتى إذا كان يوم أمر خالد أن يقتل كل رجل منا أسيره. فقلت : والله لا أقتل أسيري ولا يقتل رجل من أصحابي أسيره. حتى قدمنا على النبي فذكرناه. فرفع النبي يديه فقال : اللهم إني أبرأ إليك مما صنع خالد.

Dari Abdullah Ibnu Umar ra. Ia berkata,” Rasulullah mengutus Kholid bin Al-Walid ke Bani Judzaimah. Ia mengajak mereka untuk masuk Islam.Mereka tidak bisa mengucapkan أسلمنا (Kami masuk Islam), Mereka hanya bisa mengucapkan ”صبأنا صبأنا “. Maka Khalid membunuh sebagian mereka dan menawan sebagian lainnya. Ia menyerahkan seorang tawanan kepada masing-masing kami. Suatu hari Khalid memerintahkan setiap kami untuk membunuh tawanan masing-masing, namun kukatakan,” Demi Allah, saya tidak akan membunh tawananku dan setiap sahabatku tak akan membunuh tawanannya.” (Perkara itu kami tangguhkan) hingga kami datang kepada nabi dan kami menceritakannya kepada beliau. Ketika itu Rosululloh mengangkat kedua tangannya dan berdoa,” Ya Allah. Aku berlepas diri dari perbuatan Khalid.”

3. Sholat.

Dari Anas bin Malik bahwasanya Rosulilloh shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
من صلى صلاتنا واستقبل قبلتنا وأكل ذبيحتنا فذلك المسلم الذى له ذمة الله ورسوله فلا تحقروا الله في ذمته.

“ Barangsiapa yang sholat sebagaimana sholat kita, menghadap ke arah kiblat kita dan memakan smbelihan kita, maka dia adalah seorang muslim, dia mendapat perlindungan Alloh dan Rosul-Nya. Maka janganlah kalian menghinakan orang yang telah mendapatkan perlindungan Alloh.”
Ibnu Hajar berkata,” Berdasar hadits ini bahwasanya urusan manusia itu dibawa kepada dhahirnya. Siapa menampakkan syiar-syiar dien maka diberlakukan atasnya hukum-hukum pemeluk dien selama belum nampak darinya hal yang bertntangan dengan hal itu (pembatal-pembatal keislaman—ed).”
Juga dari Ubaidullah bin ‘Adi bin Khiyar radhiyallahu ‘anhu ia berkata,” Ketika Rasulullah sedang duduk-duduk di antara manusia, datang seorang laki-laki yang berbisik kepada beliau sehingga kami tidak mengetahui ia berbisik apa. Maka Rasulullah menjawab dengan keras, ternyata orang itu meminta izin untuk membunuih seorang munafiq. Rasulullah bersabda ketika beliau berbicara dengan keras :
أليس يشهد أن لا اله إلا الله و أن محمدا رسول الله ؟
“ Bukankah ia bersaksi tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah ?” Laki-laki itu menjawab,” Ya, tapi tidak ada syahadat atasnya.” Rasulullah bertanya lagi :
أليس يصلي
“ Bukankah ia sholat ?” Laki-lai itu menjawab,” Ya, tapi tak ada sholat baginya.” Maka Rasulullah bersabda :
أولئك الذين نهاني الله عن قتلهم
“ Mereka itulah orang-orang yang Allah melarangku utnuk membunuhnya.”
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : إني نهيت عن قتل المصلين.
Dari Abu Hurairah dari Nabi beliau bersabda,” Sesungguhnya aku dilarang untuk membunuh orang-orang yang mengerjakan sholat.”

4. Adzan.

عن انس بن مالك أن رسول الله كان يغير عند صلاة الصبح وكان يستمع فإذا سمع أذانا أمسك و إلا أغار, رواه أبو داود. وفي رواية مسلم : كان رسول الله إنما يغير إذا طلع الفجر و كان يستمع الأذان. فإذن سمع أذانا أمسك و إلا أغار. فسمع رجلا يقول : ألله أكبر ألله أكبر. فقال رسول الله : على الفطرة. ثم قال : أشهد أن لا اله إلا الله. أشهد أن لا اله إلا الله. فقال رسول الله : خرجت من النار. فنظروا فإذا هو راعي معزى.

Dari Anas radiyallahu ‘anhu., beliau berkataو” Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam biasa menyerang pada waktu sholat Shubuh. Beliau menunggu sampai terdengar adzan. Jika mendengar adzan beliau tidak jadi emnyerang dan bila tidak terdengar adzan, beliau menyerang.” [HR. Abu Daud]. Dalam riwayat Muslim,” Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam biasanya menyerang sebuah kaum jika telah terbir fajar. Beliau menunggu sampai terdengar adzan. Apabila beliau mendengar adzan, beliau batalkan dan apabila tidak terdengar adzan maka beliau sergap setelah subuh. (Suatu kali) beliau mendengar seorang mengumandangkan adzan (dari daerah yang akan diserang),” Allahu Akbar…Allahu Akbar.” Maka Rasulullah menjawab,” Di atas fitrah.” Kemudian terdengar lagi,” Asyhadu An Laa Ilaaha Ila Allah..2x.” Maka beliau menjawab,” Engkau keluar dari neraka.” Pasukan Rasulullah melihat orang tersebut, ternyata seorang penggembala kambing.”

5. Masjid.
6. Suara takbir.

عن عصام المزني قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا بعث جيشا أو سرية يقول لهم : إذا رأيتم مسجدا أو سمعتم مؤذنا فلا تقتلوا أحدا.
Dari ‘Ashim Al-Muzani, ia berkata,” Adalah Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam bila mengirim sebuah pasukan atau sebuah regu bersabda kepada anggota pasukan,” Apabila kalian melihat masjid atau mendengar suara adzan, janganlah kalian membunuh seorangpun.”
As-Syaukani berkata:” Hadits ini adalah dalil bahwasanya masjid di sebuah negeri adalah cukup sebagai tanda bahwasanya penduduk negeri tersebut adalah muslim, walaupun tidak terdengar adzan dri mereka, karena Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam menyuruh pasukannya untuk memilih salah satu dari dua tersebut yaitu: masjid atau suara adzan.”
Asy-Syaukani berkata,” Sabda beliau على الفطرة menunjukkan bahwasanya takbir termasuk dari ciri-ciri khusus orang Islam, dan sah untuk dijadikan patokan bahwa penduduk suatu negeri yang terdengar suara takbir itu beragama Islam.
Orang yang kita ketahui terdapat salah satu atau lebih dari tanda-tanda di atas, maka kita hukumi dia sebagai orang Islam. Ia mempunyai hak sebagaimana hak kaum muslimin lainnya dan mempunyai kewajiban sebagaimana kewajiban kaum muslimin lainnya. Kita harus memberikan hak dia sebagai orang Islam, seperti kecintaan, perwalian, pertolongan dan hak-hak yang lain.
Abdullah bin Muhammad Al Qarni mengatakan,” Dengan melihat kepada keseluruhan hadits-hadits ini, kita mengetahui bahwa hadits-hadits ini menunjukkan satu hal yaitu sifat Islam tetap (berlaku) pada diri seseorang meski hanya dengan iqrar (pengakuan)nya, baik : (a) dengan mengucapkan dua kalimat syahadat seperti ditunjukan oleh hadits Usamah bin Zaid, atau (b) hal lain yang menempati posisinya seperti disebut dalam hadits Miqdad bin Al Aswad bahwasanya orang yang mengatakan “aslamtu lillah” dihukumi sebagai seorang muslim. Bahkan dalam hal iqrar ini sudah cukup dengan hal minimal yang menunjukkan ke arah itu, sekalipun orang itu salah dalam mengungkapkan iqrarnya seperti dalam kisah Khalid bin Walid yang membunuh orang-orang yang mengucapkan “shaba’na…shaba’na”, maksud mereka adalah Islam. Dengan demikian, iqrar tidak mempunyai shighah dan kaifiyah yang khusus, ia terealisir dengan segala hal yang menunjukkan seseorang itu menerima Islam dan ingin masuk Islam, tanpa syarat yang lain.
Inilah yang dimaksudkan oleh para ulama salaf bahwa Islam adalah iqrar. Seperti Imam Az Zuhri yang mengatakan,” Kami mengatakan Islam adalah iqrar sedang iman itu amal. Iman adalah perkataan dan perbuatan, salah satu dari keduanya tak bermanfaat bila tak disertai yang lainnya.” Demikian juga imam Ahmad mengatakan,” Iman adalah ucapan dan perbuatan, sedang Islam itu iqrar.”
Ibnu Taimiyah berklata,” Islam adalah kau beribadah kepada Allah tak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, dengan mengikhlaskan dien (ketaatan dan ketundukan ) kepada-Nya…dengan diutusnya para rasul kepada kita, maka tidak ada ibadah kepada Allah kecuali dengan apa yang diperintahkan oleh para rasul…Maka tidak akan menjadi seorang muslim kecuali orang yang bersaksi tiada ilah yang berhka diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Kalimat ini, siapa mengucapkannya berarti telah masuk Islam. Maka barang siapa mengatakan Islam adalah kalimat (mengucapkan), maksud dia adalah kalimat ini (siapa mengucapkan dua kalimat syahadat masuk Islam—ed), maka ia telah berkata benar.”

A.2- Qarinah Yang Menunjukkan Keislaman

Selain tanda-tanda di atas, ada beberapa hal yang menunjukkan keislaman seseorang namun ia tidak dihukumi sebagai seorang muslim kecuali setelah diadakan tatsabut (diteliti lebih lanjut, ricek). Hal-hal tersebut adalah:
(1). Mengucapkan salam. Alloh berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي َسِبيلِ اللهِ فَتَبَيَّنُوا وَلاَ تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلاَمَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَعِندَ اللهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةُُ كَذَلِكَ كُنتُمْ مِّن قَبْلُ فَمَنَّ اللهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوا إِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“ Wahai orang –orang yang beriman, apabila kamu pergi berperang dijalan Alloh, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu: “ kamu bukan seorang mukmin “ dengan maksud mencari harta benda didunuia, karena disisi Aloh ada harta yang banyak. Begitu juga kedadaan kamu dahulu kemudian Alloh menganugerahkan nikmatnya kepadamu, maka telitilah. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 94).
Dalam as sunah disebutkan mengenai sebab turunnya ayat ini :
عن ابن عباس قال : لقي ناس من المسلمين رجلا في غنيمة له فقال : السلام عليكم, فقتلوه و أخذوا تلك الغنيمة, فنزلت (وَلاَ تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلاَمَ لَسْتَ مُؤْمِنًا) وقرأها ابن عباس: السلام. متفق عليه. وفي الترمذي : ( مر رجل من بني سليم على نفر من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم ومعه غنم له فسلم عليهم فقالوا : ما سلم عليكم إلا ليتعوذ منكم. فقاموا فقتلوه. و أخذوا غنمه فأتوا بها رسول الله فأنزل الله الآية.

Dari Ibnu Abbas bahwasanya serombongan kaum muslimin bertemu dengan seseorang yang membawa kambingnya. Laki-laki itu mberkata,” As Salaamu ‘alaikum.” Tetapi rombongan kaum muslimin membunuhnya dan mengambil kambing tersebt. Maka turunlah ayat (artinya) “janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu: “ kamu bukan seorang mukmin”. Ibnu Abbas membaca “ As Salaama” (memanjangkan laam).” Muttafaq ‘alaihi. Dalam riwayat Tirmidzi,” Seorang laki-laki dari bani Sulaim bmelewati sekelompok shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam. Lak-laki itu membawa kambing dan mengucapkan salam kepada mereka. Maka para shahabat berkata,” Ia tidak mengucapkan salam kepada kalian kecuali karena ingi berlindaung dari kalian.” Mereka berdiri dan membunuhnya serta mengambil kambingnya. Mereka lalu membawa kambing tersebut kepada Rasulullah, maka turunlah ayat ini.”
Al Bazzar meriwayatkan dari sanad lain dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah mengirim ekspidisi Miqdad bin Al Aswad, ketika mereka mendatangi kaum yang dimaksud, ternyatakaum itu telah lari tunggang langgang. Ada seoranglaki-laki kaya yang tidak ikut lari dan ia mengucapkan laa iaaha illa Allah, maka Miqdad membunuhnya. Maka Rasulullah bersabda,” Bagaimana keadaanmu besok (hari kiamat—ed) dengan orang yang mengucapkan laa ilaah ailla Allah ?”
Ibnu Hajar berkata,”Ayat tersebut adalah dalil, bahwasanya orang yang menunjukan tanda-tanda keislaman darahnya tidak halal sampai dia diuji, karena salam itu adalah penghormatan (sesama) kaum muslimin, sedangkan penghormatan jahiliyyah dahulu tidak seperti itu. Maka penghormatan (dengan salam-ed) ini adalah tanda keislaman.”
2. Terdapat tanda-tanda yang hanya digunakan orang Islam, namun secara syar’i bukanlah identitas yang diakui secara sah, seperti memakai pakaian kaum muslimin, memanjangkan jenggot dan rambut, memakai sorban dan lain-lain yang semacam itu. Pengarang “As-Sairul Kabir mengatakan,” Apabila kaum muslimin memasuki kampung dari perkampungan orang muyrik secara mendadak, maka mereka tidak mengapa untuk membunuh laki-laki yang mereka temui, kecuali yang memiliki tanda-tanda orang Islam atau ahlu Dzimmah, maka ketika itu mereka harus meneliti sampai jelas statusnya.”



B. ORANG KAFIR

Yaitu orang-orang yang asli kafir baik itu Yahudi, Nasrani, Majusi atau yang lain, maupun orang-orang murtad, yaitu orang Islam yang menganut ideologi kafir seperti sosialis, sekuler, komunis dan yang lain atau orang Islam yang melakukan amalan yang membatalkan tauhid, seperti mencela Alloh, Rosul shalallahu ‘alaihi wasallam dan meninggalkan sholat menurut pendapat yang paling kuat dari dua pendapat para ulama’.










B.1- KAFIR HARBI

a. Pengertian
Secara Bahasa : Kata harby merupakan nisbah kepada kata harb, yang merupakan lawan kata dari kata as silmu (perdamaian). Kata harb berarti perang atau lawan yang memusuhi. Dikatakan “ ana harbun liman haarabani “ saya musuh atas orang yang memerangiku. “ Fulanun harbu Fulanin“ si fulan ( A ) musuh si fulan ( B ), fulan memerangi si fulan. “ Fulanun harbun lii” Fulan memusuhiku, sekalipun ia tidak menyerang saya.”
Secara Istilah : Kata harbi adalah kata yang disebutkan secara umum untuk orang yang bergabung dengan darul harbi dari orang-orang yang tidak berdien Islam dan tidak ada ikatan perjanjian antara dia dengan kaum muslimin, baik ia itu ahlu kitab maupun bukan.
Berdasarkan pengertian di atas, para ulama mengkategorikan beberapa golongan ke dalam kafir harbi. Mereka adalah :
a) Orang-orang kafir yang berbuat makar dan secara langsung memerangi kaum muslimin (lewat kontak senjata). Misal bisa kita ambil antara lain adalah pemerintah Amerika yang berdiri di belakang segala pemberangusan umat Islam yang ingin menegakkan Islam, pemerintah Budha Birma, pemerintah Hindu India, pemerintah komunis Rusia dan China, pemerintah Kristen Filipina dan Kristen ortodoks Serbia dan lain-lain.
b) Orang-orang kafir yang mengumumkan perang terhadap Islam dan ummatnya, dengan cara antara lain: embargo ekonomi, mengganggu ( mengusik ) dien sebagian kaum muslimin, membantu musuh-musuh Islam dalam memerangi kaum muslimin, mengancam akan mmerangi kaum muslimin dan cara-cara lainnya.
c) Orang-orang kafir yang tidak terikat perjanjian damai dengan kaum muslimin dan mereka tidak menampakkan permusuhan.
Ketiga kelompok ini boleh jadi telah sampai kepada mereka dakwah Islam, namun boleh jadi juga belum. Dalam istilah fiqih, mereka semua dihitung sebagai kafir harby. Dengan demikian, maka pada dasarnya seluruh orang kafir itu statusnya adalah kafir harbi kecuali mereka yang menjadi dzimmatul muslimin.


b. Perlakuan Terhadap Kafir Harbi
Terhadap nyawa dan harta mereka :
Orang kafir harbi halal darah dan hartanya selama ia tidak memeliliki ikatan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Kenapa demikian ? Karena dalam syariah Islam, yang menjadikan harta dan nyawa terjaga hanyalah satu dari dua hal berikut :
1. Iman, atau
2. Al amaan ( jaminan keamanan ).
Selama mereka tidak mempunyai ikatan perjanjian damai dengan kaum muslimin, mereka tidak boleh masuk ke dalam negara Islam karena ia membawa bahaya bagi kaum muslimin. Kalau ia masuk ke negara Islam, maka harta dan darahnya halal. Ia boleh dibunuh dan diambil hartanya, sebagaimana juga boleh dijadikan budak atau diampuni.
Ibnu Taimiyah ketika menjelaskan tentang harta fai’, beliau berkata,” Dan dinamakan fai’ karena Alloh mengembalikan harta tersebut dari orang-orang kafir kepada kaum muslimin, karena pada asalnya Alloh menciptakan harta tersebut untuk membantu dalam beribadah kepada-Nya, karena sesungguhnya Alloh menciptakan makhluq ini hanya untuk beribadah kepada-Nya. Maka orang-orang kafir itu telah menghalalkan jiwa mereka karena mereka tidak menggunakannya untuk beribadah kepada Alloh dan juga menghalalkan harta mereka karena mereka tidak memanfaatkannya untuk beribadah kepada Alloh, mereka menghalalkannya untuk kaum muslimin yang beribadah kepada Alloh dan Alloh mengembalikan hak mereka sebagaimana mengembalikan harta warisan seseorang yang terampas meskipun harta tersebut belum pernah berada di tangannya.”
Tidak ada perbedaan pendapat di antara kaum muslimin bahwa saat terjadi perang, boleh membunuh orang musyrik yang sudah dewasa, laki-laki dan ikut berperang. Yang masih menjadi perbedaan pendapat di antara mereka adalah perlakuan terhadap kafir harbi yang tertawan.
Mereka juga bersepakat tidak boleh membunuh anak-anak dan wanita musyrikin selama wanita dan anak-anak tersebut tidak ikut berperang. Jika wanita atau anak tadi ikut ambil bagian dalam perang, maka darahnya halal dan harus dibunuh. Islam mengajarkan bahwa tidak boleh dibunuh kecuali orang yang terlibat perang atau yang orang yang membantu orang-orang musyrik dalam memerangi kaum muslimin, baik dengan harta, pikiran ataupun sarana lainnya. Para ulama masih berselisih pendapat tentang selain wanita dan anak-anak yang bukan ahlul qital. Hal ini akan kami bahas dan satu pembahasan tersendiri insya’ Alloh.
Dr. Abdulloh Azzam berkata,” Para imam madzhab yang empat telah bersepakat bahwa setiap hal yang membawa maslahat bagi kaum muslimin dan membawa kerugian bagi orang-orang kafir saat terjadi perang atau saat i’dad, boleh dilakukan baik itu membunuh orang, membunuh hewan, menebangi tanaman maupun merusak bangunan, karena maksud dilancarkannnya perang adalah untuk menghilangkan fitnah, menyebarkan dakwah dan meninggikan dien Allah Ta’ala. Kalau membunuh manusia yang merintangi dakwah diperbolehkan, tentunya merusak harta benda dan membunuh hewan lebih diperbolehkan lagi, meskihal itu akan menyebabkan bahaya bagi mereka atau memaksa mereka untuk tunduk pada dien Islam.
Dasar yang menjadi pijakan para ulama’ adalah hadits Ibnu Umar yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menebangi pohon korma Bani Nadzir dan membakarnya. Allah Ta’ala kemudian menguatkan peristiwa ini dengan turunnya ayat kelima dari surat Al Hasyr. Disebutkannya kata “ lienah “ dalam ayat ini adalah untuk menunjukkan bahwa yang boleh ditebang adalah tanaman yang tidak dijadikan makanan, adapun yang dijadikan makanan oleh orang kafir tetap tidak boleh ditebang.

Menjadikan budak
Ibnu Rusyd berkata,” Boleh menjadikan orang kafir harbi dengan segala macamnya sebagai budak berdasarkan ijma’, baik itu laki-laki maupun perempuan, anak-anak, dewasa maupun orang tua. Yang masih ada perselisihan hanyalah nasib para pendeta. Sebagian ulama tidak memperbolehkan membunuh atau menjadikan mereka sebagai budak. Mereka mendasarkan pendapat ini kepada sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam :
فذرهم و ما حبسوا أنفسهم إليه
“ Biarkanlah mereka dengan apa yang mereka kerjakan (beribadah secara total dalam gereja).”
Dan juga mengikuti apa yang dilakukan Abu Bakar (melarang memperbudak pendeta).



c. TINJAUAN TERHADAP ORANG KAFIR MASA KINI

Telah disebutkan bahwa orang kafir dzimmi membayar jizyah kepada imam negara Islam, sedang ia boleh menjalankan keyakinannya serta mendapatkan jaminan keselamatan harta dan nyawanya. Adapun orang kafir yang tidak terikat perjanjian damai dengan umat Islam dan menolak menerima Islam atau memnayar jizyah, maka ia disebut sebagai kafir harbi.
Berdasar keterangan ini, maka saat ini hanya ada satu kata tentang orang non muslim, yaitu “KAFIR HARBI“, kecuali jika memang ada negara Islam yang sudah menerapkan syariat Islam dan ada orang kafir yang menetap di sana dengan membayar jizyah dan mentaati hakum Islam. Kita tidak mengetahui apakah Afghanistan dan lain-lainya, telah mempraktekkan masalah ini. Wallahu ‘a’lam bish Shawab.
Lajnah Syar’iyah dari Jama’atul Jihad menyatakan,” Adapun Ahlul Kitab baik Yahudi maupun Nasrani di negara-negara kita bukanlah Ahludz Dzimmah karena mereka tidak membayar jizyah kepada kaum muslimin dan tidak berpegang taguh dengan syariat Islam. Mereka mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum muslimin di hadapan undang-undang positif yang kafir. Selain itu mereka juga memerangi kaum muslimin baik secara langsung maupun dengan cara memberikan bantuan kepada musuh-musuh kaum muslimin dengan senjata dan harta. Dengan begitu mereka telah keluar dari status hukum ahludz dzimmah menurut syarat-syarat yang tersebut di dalam Watsiqoh ‘Umariyah yang telah ditetapkan oleh Umar atas penduduk Syam.”
Timbul sebuah syubhat mengenai masalah ini yang intinya menyatakan tidak ada imam yang mewajibkan orang-orang ahlu kitab di negeri-negeri kaum muslimin untuk menjalankan hukum-hukum ahlu dzimah. Otomatis mereka tidak menjalankan dan menetapi hukum-hukum ahlu dzimah, oleh karenanya tidak selayaknya mengganggu mereka karena darah dan harta mereka terjaga.



Syubhat ini terbantah bila dilihat dari beberapa segi:
1. Menggugurkan kewajiban membayar jizyah dari diri ahlul Kitab dan menyamakan kedudukan mereka dengan kaum muslimin di hadapan hukum positif negara yang berlaku merupakan sebab gugurnya dzimmah mereka dan berubahnya mereka menjadi orang-orang kafir harbi.
Imam Asy-Syaukani berkata,” Tetapnya dzimmah mereka bersyarat dengan penyerahan jizyah dan berpegang dengan syarat-syarat lain yang telah ditentukan kaum muslimin terhadap mereka. Apabila mereka tidak melaksanakan syarat-syarat tersebut maka status mereka kembali lagi seperti semula; harta dan darah mereka halal. Hal ini sudah sama-sama diketahui maklum dan tidak ada perselisihan lagi. Tersebut dalam akhir teks Watsiqah Umar (perjanjian Umar) : Apabila mereka menyelisih sesuatu dari syarat-syarat tersebut maka tidak ada dzimmah bagi mereka, dan halal bagi kaum muslimin untuk memperlakukan mereka sebagaimana memperlakuan orang-orang yang keras kepala dan nyleneh.”
2. Hukumnya sama saja apakah batalnya perjanjian dzimah mereka ini berasal dari mereka sendiri atau dari pemerintah kafir yang mengaku Islam. Orang kafir tidak menjaga nyawa dan hartanya dari kaum muslimin, kecuali dengan jaminan keamanan yang sah dari Imamul Muslimin. Jika ini tidak ada, maka ia tidak terjaga.
3. Alasan seperti ini adalah alasan yang batil, karena termasuk beralasan dengan taqdir secara salah, karena tegak dan runtuhnya Daulah Islam adalah taqdir yang telah ditetapkan Alloh subhanahu wa Ta’ala.
Tentang batilnya beralasan dengan taqdir, Ibnu Taimiyah berkata,” Taqdir bukanlah alasan bagi manusia. Akan tetapi taqdir itu wajib diimani, bukan untuk dibuat alasan. Orang yang beralasan dengan taqdir adalah orang yang rusak akal dan agamanya, dan pendapatnya kontradiksi. Seandainya taqdir bisa dijadikan alasan maka tidak ada orang yang dicela, dihukum dan diqishosh. Dengan demikian orang yang beralasan dengan taqdir ini, ketika harta, jiwa dan kehormatannya didzolimi, ia tidak boleh membela diri dari orang mendzoliminya, tidak boleh marah dan tidak boleh mencelanya. Ini tentu saja tidak mungkin, baik secara syar’i maupun secara thobi’i. Kalau taqdir itu menjadi alasan dan udzur, tentulah Iblis tidak dicela dan tidak disiksa. Demikian juga dengan Fir'aun, kaum Nuh, 'Ad, Tsamud dan kaum kafir lainnya. Tentu juga jihad melawan orang kafir tidak boleh, menegakkan hudud tidak boleh, memotong tangan pencuri tidak boleh, demikian juga menjilid dan merajam pezina, membunuh orang yang membunuh (qishash) dan menghukum orang yang berbuat salah dengan cara apapun."
4. Keadaan Ahlul Kitab pada hari ini tidak sebagaimana Ahlu dzimah. Sebagaimana yang kami katakan di atas, kalau tidak memerangi kaum muslimin secara langsung seperti menjajah, memusuhi dan usaha lainnya, mereka memberikan bantuan kepada musuh-musuh Islam, baik dengan senjata, harta, ketrampilan dan yang lain.
Umar bin Mahmud Abu Umar berkata,” Dalam hal ini, orang Yahudi dan Nasrani yang asli kafir tidak bisa dikatakan sebagai ahludz dzimmah, karena ahludz dzimmah dalam istilah ahli fiqih adalah orang-orang kafir yang masuk ke dalam jaminan keamanan di Daarul Islam. Apabila tidak ada Daarul Islam maka tidak ada ahludz dzimmah, jadi mereka adalah orang-orang kafir harbi.”




D. TINJAUAN TERHADAP PENDUDUK DAARUR RIDDAH

Berjalannya hukum Islam adalah standar Islam atau kafirnya sebuah negara. Para ulama telah bersepakat bahwa pemerintahan yang menetapkan undang-undang positif adalah pemerintahan yang kafir murtad. Dengan demikian, bagi kaum muslimin yang tinggal di negara tersebut mempunyai kewajiban untuk berjihad mengembalikan negara tersebut kepada hukum Islam. Di atas telah kita sebutkan fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika ditanya tentang daerah Mardin yang dahulunya berhukum dengan hukum Islam kemudian dipimpin oleh orang-orang yang memberlakukan hukum kafir. Orang-orang Islam diperlakukan sebagaimana mestinya, dan orang-orang yang keluar dari syariat Islam diperangi. Dengan demikian harus jelas siapa saja yang mewakili negara kafir tersebut, yang kita katakan murtad, sehingga kita akan tepat dalam mendudukkan status mereka.
Kalau kita katakan sebuah negara itu telah murtad dikarenakan telah mengganti hukum Alloh dengan hukum kafir, maka mereka yang bertanggung jawab atas dosa ini menurut Syaikh Ahmad Syakir ada tiga golongan, yaitu:
1- Dewan yang menyusun perundang-undangan tersebut. Dan yang paling bertanggung jawab adalah pemimpin tertinggi negara tersebut, yang telah memerintahkan untuk membuat undang-undang kafir. Syaikh Ahmad Syakir berkata,” Ia membuat undang-undang tersebut karena meyakini kebenaran undang-undang tersebut dan benarnya apa yang ia kerjakan. Dalam hal ini masalahnya sudah jelas (kafir), walaupun ia puasa, sholat dan menyangka dirinya seorang muslim.”
2- Para pembela yang memperjuangkan dan mempertahankan undang-undang tersebut. Beliau berkata tentang mereka,” Sesungguhnya ia membela kebatilan melawan kebenaran. Apabila dalam membela kebatilan yang bertentangan dengan Islam tersebut ia berkeyakinan bahwa yang ia bela itu benar, maka hukumnya seperti temannya yang membuat undang-undang tersebut. Sementara kalau ia tidak mempunyai keyakinan seperti itu, maka ia adalah seorang munafiq murni (tulen) walaupun ia beralasan bahwa ia hanya melaksanakan kewajiban dia sebagai penjaga undang-undang tersebut.”
3- Pelaksana hukum tersebut yaitu para hakim yang memutuskan perkara dengan berpedoman dengan undang-undang tersebut. Beliau berkata,” Mungkin ia mempunyai alasan ketika memutuskan perkara dengan berpedoman undang-undang tersebut yang (kebetulan dalam kasus tersebut—ed) sesuai dengan hukum Islam. Walaupun penelitian yang mendalam menolak alasan ini sehingga (alasan ini) tidak berarti sama sekali. Adapun jika ia memutuskan perkara dengan hukum yang tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As Sunnah, maka jelas-jelas ia masuk ke dalam maksud hadits:

على المرء المسلم السمع و الطاعة فيما أحب و كره ما لم يؤمر بمعصية فإذا أمر بمعصية فلا سمع و لا طاعة

“Kewajiban seseorang muslim adalah mendengar dan taat baik atas perintah yang ia sukai maupun yang ia benci selama tidak diperintahkan berbuat maksiat. Kalau diperintah untuk berbuat maksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.”

Dia telah diperintahkan untuk tidak mentaati undang-undang yang menurutnya ia harus mentaatinya itu, karena undang-undang tersebut menyuruhnya untuk bermaksiat, bahkan lebih dari hanya sekedar maksiat, yaitu menyelisihi kitab Alloh dan sunnah Rosul-Nya. Maka dalam hal ini tidak ada kewajiban mendengar dan taat. Apabila dia mendengar dan taat maka dosanya sama dengan yang pemerintah yang telah membuat undang-undang tersebut.”
Umar bin Mahmud Abu Umar barkata,” Sebab kekafiran mereka terletak pada masalah perundang-undangan. Pembuat undang undang batil ini, hakim yang berpedoman dengan undang-undang ini, pembelanya, penyeru kepada undang-undang tersebut dan yang menampakkan seakan-akan indah, merekalah yang kita katakan kelompok murtad itu.”
Tentunya juga harus diperhatikan syarat dan mawani’ takfir, juga perbedaan antara takfir mu’ayan dan takfir mutlaq. Orang yang melakukan kekafiran secara umum (takfir mutlaq) dihukumi kafir, adapun di dalam menghukumi secara perorangan (takfir mu’ayan) maka harus diperhatikan mawani’ut takfir seperti kebodohan, ta’wil, ikroh, kesalahan dll. Jika orang yang melakukan kekafiran itu bodoh dengan kebodohan yang dibenarkan oleh syar’i dan tidak bermalas-malasan dalam mencari kebenaran maka dia tidak kafir. Begitu juga orang yang menta’wilkan sebuah dalil dhaif yang dia kira syar’i atau dia menta’wilkan maksudnya yang masih masuk dalam cakupannya (ta’wil saigh) baik secar syar’i maupun bahasa maka dia tidak kafir. Begitu juga siapa yang dipaksa dengan keterpaksaan yang dibenarkan oleh syar’I, di mana dia tidak mampu menolak dan menghindar maka dia juga tidak kafir.



E- BAGAIMANA DENGAN RAKYAT

Adapun rakyat jika ia rela dengan para penguasa tersebut dan mengikunya maka rakyat yang semacam ini juga termasuk golongan para penguasa tersebut. Abdulloh bin Umar bin Sulaiman Ad-Dumaiji ketika memaparkan pendapat Syaikh Ahmad Syakir di atas, beliau menambahkan bagian keempat yaitu:
Rakyat yang rela dan mengikuti undang-undang kafir tersebut. Rakyat tidak boleh berhukum kepada undang-undang tersebut, mereka harus memberikan keterangan bahwasanya hal itu haram, dan ia harus berusaha untuk menumbangkannya dan berhukum dengan syariat Alloh semampu dia dan Alloh tidaklah memberikan beban kecuali yang mampu dipikul. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwasanya Rosululloh bersabda:

إنه يستعمل عليكم أمراء فتعرفون و تنكرون فمن كره فقد برئ ومن أنكر فقد سلم ولكن من رضي وتابع

“ Sesungguhnya kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang melakukan kemungkaran. Maka barangsiapa membenci ia terbebas dari dosa, dan barangsiapa mengingkarinya maka ia telah selamat, akan tetapi yang mendapat dosa adalah orang yang rela dan mengikuti.”
Adapun dalam keadaan terpaksa dan darurat yang diperbolehkan secara syar’I, maka setiap keadaan darurat diberikan kelonggaran sesuai dengan kadar daruratnya.
Kewajiban setiap muslim ketika melihat kemungkaran adalah mengingkarinya baik dengan hati, lisan maupun tangan atau kekuatan, sebagaimana sabda Rosululloh:

من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فأن لم يستطع فبقلبه و ذلك أضعف الإيمان

" Barang siapa melihat kemungkaran haruslah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”
Dalam hal ini Ibnu Rojab mengatakan,” Seluruh hadits-hadits ini menunjukkan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan dan mengingkari kemungkaran dengan hati adalah suatu keharusan. Maka barang siapa hatinya sudah tidak mengingkari kemungkaran, maka hal ini menunjukkan bahwa imannya telah hilang dari hatinya.” Adapun mengingkarinya dengan lisan dan tangan beliau mengatakan,” Adapun mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan adalah wajib sesuai dengan kemampuan.”
Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Alu Abdul Lathif berkata :
“ Sesungguhnya kafirnya rakyat tergantung dengan sikapnya menerima selain syariah Allah dan ridhonya mereka dengan hukum selain syariah Alalh. Selain itu, sikap rakyat yang mengikuti dan menerima undang-undang selain syariah Allah ini dengan sikapnya berhukum kepada selain hukum Allah ini tak lepas dari beberapa kemunginan : bisa jadi menolak menerima hukum Allah, atau bisa juga membolehkan berhukum dengan hukum thaghut padahal mereka telah diperintahkan untuk kufur dengan thaghut, atau boleh jadi lebih mengutamakan hukum thaghut atas hukum Allah, atau barangkali juga mensamakan antara hukum Allah dan hukum thaghut.”
Beliau juga mengatakan,” Persoalan lain yang harus diperhatikan, bahwa rakyat yang dihukumi dengan UU positif ini kemudian dia ridho maka hukumnya ia telah kafir karena orang yang meridhoi kekafiran berarti seperti pelaku kekafiran itu sendiri.
Hal ini ditegaskan oleh firman Allah :
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam.” (QS. An Nisa’ :140)
Imam Al Qurthubi berkata :
Firman Allah Ta’ala:
” maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain “ maksudnya adalah pembicaraan yang tidak membawa pada kekufuran,” Firman Allah “Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.“ Ini menunjukkan bahwa wajib hukumnya menjauhi pelaku kemaksiatan jika dari mereka nampak kemungkaran karena orang yang tidak menjauhi mereka berarti telah ridha sedang ridha dengan kekufuran itu kafir.”
Abdulloh bin Umar bin Sulaiman Ad-Duamiji berkata tentang memberontak kepada pemerintah kafir dan murtad,” Juga sudah merupakan suatu kesepakatan (para ulama –ed) wajibnya memberontak dan menggulingkannya dengan pedang bagi siapa saja yang mampu melakukannya. Jika mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menggulingkannya dengan pedang, maka mereka harus mencari jalan yang paling dekat untuk menggulingkannya dan membebaskan kaum muslimin dari kekuasaan pemerintah tersebut walaupun untuk hal itu harus bersusah payah. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ubadah yang telah disebutkan tadi yaitu:

…. و ألا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان

“….. dan agar kami tidak memberontak kecuali jika melihat kekafiran nyata yang menjadi alasan di sisi Alloh.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata,” Sesungguhnya seorang penguasa harus dipecat menurut ijma’ jika ia telah kafir. Pada saat itu wajib atas setiap muslim melakukan hal itu (memecatnya). Barang siapa mampu mengerjakannya ia mendapat pahala, sedang bagi berkompromi mendapatkan dosa. Bagi yang tidak mempunyai kekuatan wajib hijroh dari negeri tersebut.”
Wallahu A’lam bish Shawab. Wal Hamdu Lillahi Rabbil “alamien.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar