touring

touring
bersama teman

Sabtu, 24 Juli 2010

jepara






kita bersama teman-teman sedang ada di jepara menghadiri walimah mujahid billah. juga kita jalan jalan ke danau bersama pengantin barunye,hehehehe

kapan-kapan kita juga bisa kesana

Cerita Rakyat Si Pahit Lidah



Cerita Rakyat Si Pahit Lidah
Si pahit lidah adalah seorang pemberani yang sering membela rakyat kecil. Nama Si Pahit Lidah sangat melegenda di pulau Sumatera, khususnya di Sumatera bagian Selatan, Termasuk Merangin. Lalu siapakah Si Pahit Lidah itu sebenarnya ?
Jati Diri Si Pahit Lidah.
Pada zaman dahulu kala, Tersebutlah kisah seorang pangeran dari daerah Sumidang bernama Serunting. Anak keturunan raksasa bernama Putri Tenggang ini, dikhabarkan berseteru dengan iparnya yang bernama Aria Tebing. Sebab permusuhan ini adalah rasa iri-hati Serunting terhadap Aria Tebing.
Dikisahkan, mereka memiliki ladang padi bersebelahan yang dipisahkan oleh pepohonan. Dibawah pepohonan itu tumbuhlah cendawan. Cendawan yang menghadap kearah ladang Aria tebing tumbuh menjadi logam emas. Sedangkan jamur yang menghadap ladang Serunting tumbuh menjadi tanaman yang tidak berguna.
Perseteruan itu, pada suatu hari telah berubah menjadi perkelahian. Menyadari bahwa Serunting lebih sakti, Arya Tebing menghentikan perkelahian tersebut. Ia berusaha mencari jalan lain untuk mengalahkan lawannya. Ia membujuk kakaknya (isteri dari Serunting) untuk memberitahukannya rahasia kesaktian Serunting.
Menurut kakaknya Aria Tebing, kesaktian dari Serunting berada pada tumbuhan ilalang yang bergetar (meskipun tidak ditiup angin). Bermodalkan informasi itu, Aria Tebing kembali menantang Serunting untuk berkelahi.
Dengan sengaja ia menancapkan tombaknya pada ilalang yang bergetar itu. Serunting terjatuh, dan terluka parah. Merasa dikhianati isterinya, ia pergi mengembara. Serunting pergi bertapa ke Gunung Siguntang. Oleh Hyang Mahameru, ia dijanjikan kekuatan gaib. Syaratnya adalah ia harus bertapa di bawah pohon bambu hingga seluruh tubuhnya ditutupi oleh daun bambu. Setelah hampir dua tahun bersemedi, daun-daun itu sudah menutupi seluruh tubuhnya.
Seperti yang dijanjikan, ia akhirnya menerima kekuatan gaib. Kesaktian itu adalah bahwa kalimat atau perkataan apapun yang keluar dari mulutnya akan berubah menjadi kutukan. Karena itu ia diberi julukan si Pahit Lidah.
Ia berniat untuk kembali ke asalnya, daerah Sumidang. Dalam perjalanan pulang tersebut ia menguji kesaktiannya. Ditepian Danau Ranau, dijumpainya terhampar pohon-pohon tebu yang sudah menguning. Si Pahit Lidah pun berkata, “jadilah batu.” Maka benarlah, tanaman itu berubah menjadi batu. Seterusnya, ia pun mengutuk setiap orang yang dijumpainya di tepian Sungai Jambi untuk menjadi batu.
Namun, ia pun punya maksud baik. Dikhabarkan, ia mengubah Bukit Serut yang gundul menjadi hutan kayu. Di Karang Agung, dikisahkan ia memenuhi keinginan pasangan tua yang sudah ompong untuk mempunyai anak bayi.

ADAB & TATA CARA MENCARI ILMU

بسم الله الرحمن الرحيم

ADAB & TATA CARA
MENCARI ILMU
Upaya Pelurusan Fikrah Keluarga Menuju Pemahaman Salaf Ash-Shalih
Pertemuan Keluarga ke-X

A. MUQODDIMAH

Ibnu Taimiyah : ilmu yang baik adalah ilmu yang mengarah kepada pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena keduanya merupakan warisan Nabi. Siapa mau mengambil keduanya, maka akan beruntung.
Ibnu Abbas : benih-benih pengetahuan adalah mempelajari ilmu.
Ibnul Mubarok : pertama kali ilmu adalah niyat, kemudian mendengarkan, kemudian memahami, kemudian menghafal, kemudian mengamalkan, kemudian menyampaikan kepada orang lain.
Umar Maula Ghufroh : Orang yang pandai itu masih bisa dikatakan pandai selama ia tidak mendahulukan akal/hawa nafsu / ro’yu-nya kemudian ia mau mendatangi orang yang lebih pintar lagi darinya untuk menimba ilmunya.
Abu Kholid Al-Ahmar : akan datang suatu masa, mushaf Al-Qur’an dan tafsirnya tidak dibaca dan dikaji lagi, manusia saat itu hanya mengikuti pembicaraan dan pendapat seseorang. Hindarilah sikap seperti itu, jika tidak, hal itu hanya akan menampar wajah, memperpanjang komentar yang tidak jelas ujung pangkalnya dan membuat rusaknya hati.
Rusaknya pemikiran, mental & tindakan manusia hari ini merebak di berbagai kolong bumi. Keluarga yang nampaknya muslim telah teracuni pemikiran sekuler dan kafir, sehingga mereka jauh dari pemahaman Islam yang benar. Secara lahiriyah, gelar-gelar akademis sebagai Guru, Alim-ulama, Doktor, Sarjana, Profesor dan status sosial di tengah masyarakat sebagai ketua RT, RW, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri, Presiden bahkan sampai Direktur perusahaan tertentu telah mereka raih, akan tetapi hal itu tidak menjadikan mereka merasa takut kepada Allah dan semakin benar sikap ibadah kepada-Nya, bahkan bersikap sebaliknya.
Hal ini barangkali disebabkan ketika mencari ilmu, ada beberapa hal yang tidak benar, yaitu belum mengerti adab-adab mencari ilmu dan bagaimana cara meraih/mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Agar diri dan keluarga muslim tidak terjebak oleh pengaruh orang-orang kafir dan sekuler, kita ikuti kajian berikut ini.

II. ADAB-ADAB MENCARI ILMU

1. Ikhlash Lillah
Hendaklah seorang pencari ilmu selalu mengoreksi dan memperbaiki niyatnya, beramal untuk-Nya, menghidupkan syariat-Nya, menerangi hati dan batinya dan selalu taqarub kepada Allah.
2. Menjaga diri secara lahir dan batin dari hal-hal yang bertentangan dengan hukum Allah
Thalib Ilmy, harus selalu menampakkan secara nyata sunnah Nabi dan meninggalkan amalan-amalan bid’ah dalam segala keadaan.
Abdul Malik Al-Maimuni : aku belum pernah melihat manusia sehebat Imam Ahmad bin Hambal, pakaiannya selalu putih-bersih, kumisnya bersih, jenggotnya rapi dan janjinya selalu tepat. Beliau diam dan geraknya selalu menghidupkan sunnah.
Khotib Al-Baghdady : tholib ilmy harus meninggalkan sendagurau, tertawa terbahak-bahak, boleh saja tertawa namun jangan sampai keluar dari etika ilmu. Sebab tertawa akan mematikan hati dan mengurangi wibawa seseorang.
Imam Malik : hendaklah tholib ilmy selalu bersikap lunak, tenang dan khusyuk dan selalu mengikuti akhlaq orang-orang terdahulu.
Menjaga batin disini maksudnya : menghindarkan diri dari akhlaq yang tercela dan sifat-sifat tidak terpuji. Karena ilmu itu merupakan ibadahnya hati, hubungan yang tersembunyi tetapi membawa kedekatan diri kepada Allah SWT.
Abu Hamid : hati ibarat rumah, ia merupakan tempat turunnya Malaikat, tempat bersandarnya keputusan, maka sifat tercela seperti marah, syahwat, iri-dengki, sombong, berbangga dan sifat keji lainnya jika selalu menggema di dalam hati, itu ibarat binatang anjing yang menggongong, kalau sudah begitu bagaimana mungkin Malaikat akan masuk ke dalam rumah-nya ?

3. Fikiran & hatinya konsentrasi kepada ilmu, Singkirkan rintangan dan kebiasaan buruk

Kebiasaan bermalas-malas, bersantai ber-mental cengeng adalah rintangan seorang pencari ilmu. Ini adalah betul-betul merupakan halangan.
Ada tiga hal yang akan merintangi perjalanan manusia kepada Allah : 1. Syirik 2. Bid’ah 3. Maksiat. Syirik akan tumbang dengan Tauhid, Bid’ah akan tumbang dengan Sunnah dan maksiat akan tumbang dengan taubat.
Syu'bah berkata : kamu sangat sibuk dengan bisnis di pasarmu, pantas kamu sukses hebat duniamu, sedangkan saya belajar hadits, maka saya menjadi papa.
Sofyan bin Uyainah : tinta-tinta ilmu dan kajian hadits tidak akan memasuki rumah, kecuali aktivitas itu akan menjadikan papa keluarga dan anak-anaknya.
Maksudnya, meskipun kesibukan taklim keluar rumah, jangan sampai keluarganya berantakan nasib ekonomi dan jaminan keamanannya.
Apabila seorang tholib datang kepada Sofyan Ats-Tsauri maka ia ditanya : Apa kamu sudah punya maisyah/penghasilan ekonomi, bila jawabannya belum, ia disuruh pulang, bila jawabnya sudah dan cukup, maka boleh ikut belajar bersama Sofyan Ats-Tsauri.

4. Selalu berhati-hati dalam masalah makan

Rosulullah bersabda : Sesungguhnya syetan betul-betul berjalan mengalir lewat aliran darah manusia, maka persempitlah aliran darah itu dengan cara berlapar-lapar, agar syetan tidak bisa masuk. Hadits Riwayat Ahmad.
Imam Syafi’i : saya tidak pernah merasa kenyang selama 16 tahun, karena banyak makan ( berkenyang-kenyang ) akan mudah mengantuk, menumpulkan akal, melemahkan perasaan dan malas badan. Maka banyak makan itu dibenci oleh syari’at.
Banyak makan dan minum hanya akan menyibukkan diri untuk masuk-keluar WC, orang yang berakal pasti akan menjaga betul dalam masalah ini.
Ibnu Qudamah : syahwat perut adalah syahwat yang paling berbahaya. Karena syahwat perut inilah Nabi Adam terusir dari surga, syahwat perut akan menyeret kepada syahwat kemaluan dan gandrung kepada harta. Rata-rata malapetaka jiwa itu berangkat dari kenyangnya perut.
Seorang pencari ilmu ia harus ektra-hati-hati dalam segala keadaan, selalu meneliti ke-halalan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggalnya, juga segala kebutuhan keluarganya. Hal itu agar hati diri dan keluarganya mendapatkan cahaya dan mudah menerima ilmu.

5. Sedikit tidur dan bicara

Al-Hasan bin Ziyad rajin mengkaji ilmu-ilmu keislaman, dia berumur 80 tahun, selama 40 tahun-nya ia jarang tidur.
Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani : ia tidak tidur malam, buku-buku bertebaran di sampingnya, di samping tempat belajarnya ia sediakan seciduk air untuk menghilangkan kantuknya itu. Ia berkata : ngantuk itu adalah panas, maka harus diguyur dengan air dingin agar tidak ngantuk.
Ibnu Abdil Barr : fitnah seorang alim apabila dia suka banyak bicara. Orang mendengar itu selamat dan akan bertambah ilmu dari orang yang berbicara, sedangkan pembicaraan itu kadang ada hiasan, tambahan dan pengurangan. Orang yang banyak bicara akan menunggu fitnah, orang yang diam akan menuai rahmat.

6. Mengurangi pergaulan jika perlu dan selektif memilih kawan

Pergaulan jika mampu adalah pergaulan yang membawa kebaikan dan takwa, hal itu sangat dianjurkan, akan tetapi jika membawa maksiat dan dosa itulah yang dilarang. Bahkan pergaulan antar kaum muslimin merupakan unsur ibadah, seperti sholat berjama’ah lima waktu, sholat dua hari raya, sholat gerhana, pelaksanaan ibadah haji dan jihad fie sabilillah.
Celakanya pergaulan, jika hanya akan membawa sia-sianya umur tanpa guna, rusaknya aqidah, hancurnya harta benda dan jatuhnya harga diri.
Pilihlah kawan yang shalih, punya pemahaman dien, taqwa, waro, cerdas , suka berbuat baik, sopan diplomasinya, suka diskusi yang bermanfaat, jika kamu lupa ia mengingatkanmu, jika kamu butuhkan selalu siap membantumu dan jika sedang teruji masalah selalu sabar.
Carilah kawan yang punya lima sifat : berakal, akhlaqnya baik, bukan orang fasik, bukan ahli bid’ah dan tidak rakus pada harta. Akal adalah kunci harta, berkawan dengan orang tidak berakal akan merugikanmu, karena dia akan memeras kamu. Orang fasiq, ia tidak takut kepada Allah dan tidak bisa dipercaya omongan dan tindakannya.

7. Memilih ilmu yang dibahas dan siapa pengajarnya / Syeikhnya

Seorang pencari ilmu harus berfikir hal yang terpenting sebagai pijakan untuk melangkah. Ilmu mengenal Allah adalah pangkal dari segala ilmu, dari segi Uluhiyah, Rububiyah, Asma' dan Sifat-Nya. Ia merupakan pijakan seorang hamba untuk meraih kebahagiaan dan kebaikan dunia dan akhirat.
Kongkritnya, pencari ilmu harus meletakkan selera/kemauan awalnya adalah memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena keduanya merupakan dasar ilmu yang haq. Bodoh terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan klimaknya- kebodohan yang tidak akan tertolong. Sungguh, ini merupakan nasehat yang sangat penting bagi pencari ilmu.
Imam Syafi’i berkata : ilmu selain Al-Qur’an hanyalah sendagurau, kecuali Hadits Nabi, kalau bukan Hadits Nabi yaitu kegiatan-kegiatan yang menjurus kepada pemahaman ajaran Islam. Ilmu yang sebenarnya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, selain dari itu adalah bisikan-bisikan syetan.
Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah : Ilmu adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi dan perkataan Sahabat.
Maka, tambang ilmu itu sebenarnya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ibnu Jama’ah : seorang pencari ilmu harus berfikir ulang, ber-istikhoroh meminta kepada Allah kepada siapa ia akan menimba ilmu, baguskah perangainya dan lain-lain.
Ibrahim berkata : orang-orang salaf kalau mau belajar kepada guru, ia perhatikan betul guru tersebut cara berpakaian, tutur bicaranya dan sholat lima waktunya, kalau sudah jelas, ia baru mau belajar kepadanya.
Imam Ats-Tsauri : siapa yang mendengarkan suara orang-orang ahli bid’ah, sikapnya itu akan sia-sia di hadapan Allah SWT, siapa yang ber-jabat tangan denganya, akan mengurangi nilai Islam sedikit demi sedikit.
Ibnu Sirin : Sesungguhnya ilmu ini adalah DIEN, maka perhatikan betul dari siapa kamu mendapatkan ilmu itu.
Seseorang mempelajari fisika, kimia, biologi, kedokteran, geografi, kemiliteran, ilmu-ilmu sosial dan lainnya, bila tidak didasari dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah secara benar maka akan membahayakan dirinya, keluarganya, masyarakat dan negaranya. Lebih-lebih guru/dosen mereka yang tidak jelas amaliyah dan fikrahnya. Jangan-jangan guru/dosenya adalah musuh Islam, atau kafir tulen yang selalu melecehkan Islam.

8. Menjaga adab terhadap Guru / Syeikhnya

Ibnu Thowus mendengar dari bapaknya : menghormati guru adalah sunnah.
Maimun bin Mihran : janganlah kamu berdebat dengan orang yang lebih pintar darimu, itu tidak akan membawa manfaat bagimu.
Az-Zuhri : Salmah sering mendebat Ibnu Abbas, akhirnya Salmah tidak banyak mendapatkan ilmu darinya, padahal Ibnu Abbas ilmunya sangat banyak.
Ibnu Jama’ah : seorang murid jangan sampai masuk ke majlis syaikh kecuali harus ijin, baik syaikh dalam keadaan sendirian ataupun ada pendampingya. Ketika memasuki majlis taklim, hendaklah bersih badan, pakaian dan kukunya, jangan sampai bau badanya menyengat tidak harum. Ingat, masjlis taklim adalah majlis dzikir dan pertemuan yang hal itu merupakan ibadah.
Abu Bakar bin Al-Anbari dalam majlis ilmunya, ketika murid mendengarkan ilmu, suasananya sangat tenang, seolah-olah kepala mereka jika dihinggapi burung maka burung itu tidak akan terbang, saking tenangnya suasana belajar.
Abdurrohman bin Umar : pernah ada seorang murid bermajlis di tempatnya Abdurrohman bin Mahdi, dia ter-tawa-tawa. Maka murid itu dimarahi dengan kata-kata tegas, di sini kamu mencari ilmu sambil tertawa-tawa, sebagai peringatan, kamu saya skorsing untuk tidak boleh mengikuti pelajaran selama satu bulan.

9. Menjaga adab terhadap kitab

Kitab adalah alat ilmu. Orang-orang salaf sangat serius menjaga kitab-kitab mereka. Murid selalu berusaha menyiapkan buku-buku yang ia butuhkan, dengan cara membeli ataupun meminjam, sekali lagi karena buku itu sangat penting. Boleh saja meminjam buku kepada orang lain, jika bisa merawat dengan baik, karena hal itu dalam rangka menghormati ilmu yang ada di dalamnya.
Peminjam buku tidak boleh se-enaknya mencoret buku tersebut, atau merubah bentuk buku itu kecuali harus ijin kepada pemiliknya.
Waki', guru Imam Syafi’i berkata : Berkahnya ilmu hadits adalah merawat buku.
Sofyan Ats-Tsauri : siapa bakhil terhadap ilmu yang ia miliki, maka akan terjerat tiga perkara : lupa dan tidak hafal lagi ilmunya, ilmunya mati dan tidak bermanfaat atau hilang buku-bukunya.
Imam Az-Zuhri : Hai Yunus, kamu jangan berlebih-lebihan dalam masalah buku, maksudnya buku itu disimpan saja, tidak pernah dibaca dan dipinjam oleh kawan-kawannya.
Robi’ bin Sulaiman : Al-Buthy mengingatkan saya : jagalah buku-bukumu, jika bukumu hilang kamu sulit mendapatkan gantinya.
Sofyan : Jangan kau pinjamkan buku-bukumu kepada orang lain.
Jangan sampai kamu letakkan bukumu secara sembarangan, letakkan di rak yang rapi agar tidak rusak.

10. Adab di ruang belajar

Seorang murid ketika memasuki majlis hendaklah punya semangat yang membara, hatinya konsentrasi pada pelajaran, tidak terganggu oleh kesibukan luar majlis, ketika memasuki ruangan hendaklah menebarkan salam dengan suara yang terang.
Imam Ahmad bin Hambal : di kegelapan pagi hari ba’da shubuh, tiap kali aku mau berangkat untuk mengkaji Al-Hadits, ibuku selalu menyiapkan pakaian yang akan aku pakai. Aku selalu bermajlis dengan Abu Bakar bin Ayyas dan lain-lain.
Sebelum pelajaran, hendaklah dimulai dengan Bismillahirrohamanirrohim, walhadulillah, wash-shalatuwassalam ala Rasulihi wa alihi wa ash-habihilkirom, kemudian mendoakan para Ulama, syekh-syekh, kedua orang tuanya dan segenap kaum muslimin.
Kalau ditanya oleh gurunya, sudahkah faham pelajaran ini, maka jangan bilang sudah, kecuali memang betul-betul sudah faham. Jangan malu berkata - saya belum mengerti - kalau memang belum mengerti.
Imam Mujahid : ilmu tidak bisa diraih dengan sikap malu-malu dan takabbur.

III. CARA MERAIH ILMU YANG BERMANFAAT

1. Hendaklah meminta dengan sungguh-sungguh kepada Allah ilmu yang bermanfaat.
Rasulullah pernah berdoa : Ya Allah berilah aku manfaat terhadap ilmu yang telah Engkau berikan kepadaku, ajarkanlah ilmu yang bermanfaat bagiku dan tambahlah aku ilmu.
2. Bersunguh-sungguh di dalam mencarinya, rasa rindu dan cinta yang jujur terhadap ilmu tersebut yang semua itu dilandasi dengan ridha Allah SWT.
Lihat surat Al-Baqoroh : 282, Al-Anfal : 29
Ahli hikmah : ilmu itu bisa diraih dengan semangat yang menyertainya, rasa cinta-senang mendengarkan akan ilmu itu dan selalu mengorbankan waktu untuk mendapatkannya.
Imam Syafi’i : kamu tidak akan bisa meraih ilmu kecuali dengan enam hal : 1. Kecerdasan 2. Tamak terhadap ilmu 3. Sungguh-sungguh 4. Menghubungi guru 5. Mengeluarkan dana 6. Terus-menerus tidak putus asa.
3. Menjauhkan diri dari kemaksiatan dengan jalan taqwa, karena hal itu merupakan faktor penting akan tercapainya ilmu.
Imam Malik berkata kepada Imam Syafii : Allah Ta’ala telah memberikan ilmu ke dalam jiwamu, maka janganlah kau hapus ilmu tersebut dengan kemaksiatan.
Ibnu Mas’ud : saya perhatikan orang yang sering lupa terhadap ilmunya, itu disebabkan karena ia melakukan kemaksiatan.
4. Menghindari sikap takabbur dan sikap malu mencari ilmu.
Aisyah : sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar, mereka tidak malu di dalam memahami ajaran Islam.
Imam Mujahid : Orang yang takabbur dan bermalu-malu mencari ilmu, tidak mungkin dia bisa belajar dengan baik.
5. Ikhlas di dalam mencari ilmu, ini adalah inti dan faktor terbesar dalam urusan mencari ilmu.
Siapa belajar suatu ilmu hanya sekedar mengejar keduniaan, ia tidak akan mencium baunya surga kelak di hari kiyamat.
6. Mengamalkan ilmu yang ia dapatkan.

Ibnu Taimiyah : ilmu yang terpuji dan bermanfaat adalah ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena keduanya merupakan warisan/peninggalan Nabi. Para Nabi tidak mewariskan harta berupa emas dan dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu, siapa yang mengambil ilmu itu maka akan beruntung.

IV. RENUNGAN UNTUK KELUARGA MUSLIM

1. Pernahkah kita tersinggung ikut memikirkan nasib ummat yang tidak jelas arah dan tujuan pendidikan mereka dari TK sampai Perguruan Tinggi di negeri kita ini ?
2. Pernahkah kita mengkaji dengan jujur adab-adab mencari ilmu dan bagaimana cara-cara meraihnya ? sudahkah kita ingatkan hal ini kepada anak-anak, orang tua, sanak-saudara atau ikhwan-ikhwan kita ?
3. Pernahkah kita berdo’a kepada Allah meminta ilmu yang bermanfaat secara lisan, yang kemudian kita benarkan dengan hati dan diwujudkan dengan amal perbuatan ? Ingat, ucapan lisan, hati dan tindakan perbuatan adalah bukti orang beriman.
4. Bisakah kita mendapatkan llmu dengan cara sendirian tanpa guru/syekh ?
Imam Ibnu Hajar Al-Atsqolany, gurunya 600 orang, guru/syekh yang telah memberikan ijazah secara resmi sebanyak 450 orang. Beliau telah menulis 150 buku.
5. Pernahkah kita bercerita tentang sejarah ulama dan mengkaji ilmu-ilmu mereka ? Seperti : Imam Ahmad bin Hambal, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Asy-Syatibi, Adz-Dzahaby, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah, Imam Ath-Thobari, Imam Al-Qurthuby dan lain-lain.
Imam Abu Hanifah : bercerita tantang perjalanan Ulama dan bermajlis dengan mereka, itu lebih aku sukai daripada memahami ilmu dengan cara sendirian, hal itu merupakan adab dan sikap orang-orang salaf.

V. DAFTAR PUSTAKA

1. Miftahul Jannah, Imam Asy-Syuyuthy
2. Kitabul Ilmy, Zuhair bin Harb Abu Khaitsumah An-Nasaiy
3. Shahih Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, Al-Hafidz Ibnu Abdil Barr
4. Adab Thalibil Ilmi, Abu Abdullah Muhammad bin Said bin Ruslan
5. Al-Hikmah fiddakwah Ilallahi Ta’ala, Said bin Ali bin Wahf Al-Qohthony
6. Tahdzibut Tahdzib, Imam Ibnu Hajar Al-Atsqolany
7. Madza Ya’niy Intimaiy Lil-Islam, Fathy Yakan ( edisi Indonesia )

Disampaikan dalam acara pertemuan keluarga
di rumah Abu Habib, Sruwen - Semarang
Sabtu, 30 Maret 2002

- Wallahu A’lam bish Shawab -

Jumat, 23 Juli 2010

Beberapa tanda kiamat








I
man kepada hari akhir merupakan salah satu rukun iman, orang islam wajib mempercayai apa yang di beritakan Al Qur'an dan As Sunnah tentang hari akhir. Banyak nash – nash atau dalil-dalil yang menerangkan pengaruh dan urgensi iman kepada hari akhir.
Di antaranya firman Alloh :
ليس البر أن تولوا وجوهكم قبل المشرق والمغرب ولكن البر من آمن بالله واليوم الآخر والملائكة والكتاب والنبيين ...... ( البقرة : 177 )
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab-kitab, para rasul ….. (Al Baqoroh : 1-5)
Alloh telah memberitahukan kepada hamba-Nya tanda-tanda yang mendahului akan kedatangannya (alamatus sa'ah), baik yang sudah terjadi ataupun yang akan terjadi. Tanda-tanda yang sudah terjadi berarti yang telah di rasakan oleh ummat manusia, sehingga bisa menambah keimanan dan keyakinan orang-orang beriman, dan akan mendorongnya untuk senantiasa beramal sholeh dan menjauhi hal-hal yang munkar.
Permasalahan tanda-tanda hari kiamat sengaja di angkat, untuk mengingatkan kita, karena kebanyakan orang telah melupakannya. Dengan mengetahui adanya tanda-tanda hari Kiamat yang telah terjadi atau yang sedang terjabdi di kalangan kita, semoga menjadi peringatan untuk selalu mengikuti petunjuk syare’at Allah. Berikut ini sedikit pemaparan tentang tanda (alamatus sa’ah) yang telah terjadi dan sedang terjadi di kalangan kita :

Pertama : Di utusnya Rasulullah kepada seluruh alam.
Rasulullah telah mengabarkan bahwa di utusnya Beliau sebagai rasul terakhir termasuk salah satu tanda-tanda Kiamat, artinya hari Kiamat sudah dekat, karena beliau merupakan penutup para Nabi. Tidak ada nabi sesudah Beliau.
Dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Bukhori di katakan :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ يَعْنِي إِصْبَعَيْنِ (رواه البخارى)

Dari Abu Hurairah dari Nabi bahwa beliau bersabda : “ Jarak antara pengangkatanku sebagai Rasul dan hari Kiamat seperti (jarak) dua ini (yakni dua jarinya) (HR. Bukhori)
Dalam riwayat lain : "Beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya."

Al Hafidz Ibnu Rajab menjelaskan, bahwa hadits diatas ditafsiri dengan kedekatan masa nabi dengan hari Kiamat, seperti dekatnya jarak antara jari telunjuk dan jari tengah. Yakni setelah diutusnya Rasulullah, maka akan di tutup dengan hari Kiamat tanpa ada nabi lagi setelahnya.

Kedua : Terbelahnya bulan.
Hal ini sebagaimana yang telah di firmankan Allah Ta’ala dalam surat Al Qomar : 1-2
  •          
Telah dekat (datangnya) saat Kiamat itu, dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat sesuatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata : “(ini adalah) sihir yang terus menerus.” (Al Qomar : 1-2).
Dalam menafsirkan ayat di atas, Al Hafidz ibnu Katsir menyatakan bahwa peristiwa terbelahnya bulan telah terjadi pada zaman Rasulullah sebagaimana di sebutkan dalam hadits – hadits yang mutawatir dengan sanad yang shahih. Para ulama telah sepakat bahwa bahwa peristiwa tersebut merupakan salah satu dari mukjizat rasulullah.
Dalam sebuah riwayat, Abdullah bin Mas’ud bercerita :
Ketika kami bersama rasulullah di Mina, tiba – tiba bulan terbelah menjadi dua bagian, satu bagian berada di belakang atas gunung (Hira’) dan separuhnya (berada) sedikit di bawahnya, maka Rasulullah bersabda kepada kami : “saksikanlah !.” (HR. Bukhori Muslim).

Ketiga : Keluarnya para dajjal pendusta yang mengaku sebagai nabi
Para dajjal pendusta ini akan bermunculan sepeninggalan rasulullah wafat, dan masing – masing dari mereka akan mendakwakan dirinya menjadi seorang utusan.
Rasulullah pernah bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُبْعَثَ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ قَرِيبٌ مِنْ ثَلَاثِينَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ


Artinya :
Dari Abu Hurairah dari Nabi beliau bersabda : tidak akan terjadi hari kiamat sehingga bermunculan para dajjal pendusta yang jumlahnya sekitar 30, kesemuanya akan mendakwakan dirinya dengan rasulullah.” (HR. Muslim)

Dajjal-dajjal pendusta ini bermunculan hingga Al Masih Ad Dajjal yang menjadi fitnah terbesar bagi kaum Muslimin benar-benar keluar.
Dajjal-dajjal ini sudah ada sepeninggal Rasulullah yang mendakwakan dirinya sebagai nabi, padahal tidaj ada nabi setelah Rasulullah.
Pada zaman sahabat telah bermunculan :
1. Al Aswad Al 'Unsi di Yaman. Muncul pada masa-masa akhir akhir kehidupan Rasulullah masih hidup. Pada akhirnya ia dibunuh oleh kaum Muslimin di benteng persembunyiannya.
2. Thulaihah bin Khuwailid Al Asadi. Mengaku sebagai nabi pada masa Rasulullah masih hidup. Ia belum sempat di perangi hingga masih bertahan hidup hingga masa khalifah Anu Bakar. Setelah di perangi oleh kaum Muslimin, ia lari ke syam lalu masuk Islam. Kemudian ia ikut perang bersama kaum Muslilin dan akhirnya menibggal. Semoga dia termasuk yang menemui syahidnya.
3. Musailamah Al Kadzab pada tahun 9 Hijriyah. Dia datang kepada Rasulullah bersama jama’ahnya dan kembali ke Yamamah lalu murtad dan mengaku sebagai nabi. Maka sepeninggalan Rasul, mereka kemudian di perangi oleh Abu Bakar, dan ia mati di tangan Wahsyi bin Harb.

Pada zaman Tabi’in
1. Al Muhtar bin Abi Ubaid At Tsaqofi. Orang ini sebelumnya menganut syi’ah kemudian ia mengaku sebagai imam dengan nama Muhammad bin Hanifah. Ia mengaku bahwa Jibril menurunkan wahyu kepadanya. Kemudian dia terbunuh di Kufah.
2. Al Harits bin Sa’id Al Kadzab di Damaskus pada zaman Khalifah Abdul Malik bin Marwan, setelah beritanya sampai ke telinga Khalifah, kebenarannya langsung di lacak, lalu ia dibawa menghadap beliau. Kemudian khalifah mendatangkan para ulama untuk menasehatinya, tetapi ia menolak. Maka khalifahpun menyalibnya.
Pada zaman mutaakhir ini muncul, di India seorang laki-laki yang bernama Mirza Ghulam Ahmad Al Qodiyani. Ia mengaku mendapatkan wahyu dari langit dan mendakwakan dirinya sebagai nabi. Atau oleh para pengikutnya di katakan sebagai Mujaddid (pembaharu). Pengikutnya masyhur dengan sebutan Ahmadiyah.
Dan akhir-akhir ini kita di kejutkan dengan ajaran salamullah pengikut Lia Aminuddin yang mengaku dirinya mendapat wahyu dari Jibril.

Para Dajjal yang disebutkan di atas hanyalah sebagian saja, satu persatu akan muncul, baik berbentuk perdukunan atau pengobatan alternatif, atau apa saja yang intinya mengaku mendapat wahyu dari Allah. Dan yang terakhir ialah Al Masih Ad Dajjal Al A’war.

Keempat : Banyaknya kekacauan
Banyak nash shahih yang menunjukkan salah satu diantara tanda hari Kiamat yaitu banyaknya terjadi kekacauan, peperangan dan pembunuhan. Juga munculnya banyak fitnah di tengah-tengah kaum Muslimin yang berbentuk perpecahan, yang berakhir saling mengkafirkan dan menfasikkan, bahkan di akhiri dengan pembunuhan, merajalelanya kemaksiatan di kota-kota dan desa-desa.
Dalam sebuah riwayat rasulullah pernah bersabda :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ أَلَا أُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُحَدِّثُكُمْ أَحَدٌ بَعْدِي سَمِعَهُ مِنْهُ إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ وَيَفْشُوَ الزِّنَا وَيُشْرَبَ الْخَمْرُ وَيَذْهَبَ الرِّجَالُ وَتَبْقَى النِّسَاءُ حَتَّى يَكُونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً قَيِّمٌ وَاحِدٌ (رواه بخارى)
Artinya :
Dari Anas bin Malik, dia berkata : apakah kalian mau kuberitahu satu hadits yang aku dengar dari Rasulullah yang tidak ada seorangpun membicarakannya setelahku ? " Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah ilmu di angkat, kebodohan muncul, perzinahan merajalela, minum minuman keras merebak luas, kaum pria sedikit dan kaum wanita banyak hingga lima puluh orang wanita hanya memiliki satu orang laki-laki yang menanggung urusan mereka." (HR. Bukhori).

Yang di maksud ilmu dalam hadits di atas adalah ilmu syar'i. yaitu ilmu yang menunjukkan manusia ke jalan yang lurus, menuju kebahagian dunia dan akhirat.

Dalam hadits lain yang di riwayatkan Imam Bukhori, menerangkan proses pengangkatan ilmu yaitu dengan mewafatkan para ulama, beliau bersabda :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا (رواه البخارى)
Artinya :
Dari Abdullah bin Amru bin Ash berkata : saya mendengar Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara langsung dengan mengambilnya dari para hamba, tetapi dengan mewafatkan para ulama. Sampai bila tidak menyisakan satu orangpun, maka manusia mengangkat pemimpin yang bodoh. Mereka di tanya, maka mereka (tokoh-tokoh yang jahil) itu memberi fatwa tanpa dasar ilmu, sehingga ia sesat lagi menyesatkan.” (HR. Bukhori).

Kesimpulan dari semua itu, maka yang tersisa kebanyakan adalah orang / pemimpin yang bodoh, akibatnya manusia mendaulatkan pemimpin orang yang kosong dari ilmu, sesat sekaligus menyesatkan orang lain. Karena apabila orang itu di tanya, dia akan menjawab tanpa dasar ilmu.


Kemudian tentang menjamurnya perzinahan dan minuman keras, di akui atau tidak kedua kemaksiatan ini sudah menyebar di seluruh pelosok negri.

Kelima : Banyak terjadi gempa bumi
Dan di antara tandanya pula adalah banyak terjadinya peperangan – peperangan, gempa bumi melanda di berbagai daerah yang menelan banyak korban, kekacauan terjadi di mana – mana, hari-hari terasa begitu cepat.

Dalam sebuah riwayat di sebutkan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقْبَضَ الْعِلْمُ وَتَكْثُرَ الزَّلَازِلُ وَيَتَقَارَبَ الزَّمَانُ وَتَظْهَرَ الْفِتَنُ وَيَكْثُرَ الْهَرْجُ وَهُوَ الْقَتْلُ الْقَتْلُ حَتَّى يَكْثُرَ فِيكُمْ الْمَالُ فَيَفِيضَ (رواه البخارى)
Dari Abu Hurairah berkata : telah bersabda Rasulullah : tidak akan terjadi hari kiamat sehingga ilmu akan di cabut, banyaknya gempa bumi, dekatnya zaman, fitnah begitu jelas, banyaknya kekacauan yaitu pembunuhan-pembunuhan sehingga kalian bergelimang dengan harta benda.” (HR. Buhkori).
Tidak akan terjadi kiamat sehingga waktu berjalan terasa cepat maksudnya ialah bahwa waktu terus berjalan tanpa ada barokah padanya. Waktu tersebut tiada terisi kecuali terisi dengan kejelekan-kejelekan.


Demikian penjelasan singkat mengenai tanda datangnya hari Kiamat yang harus kita imani. Semestinya masih banyak di antara tanda-tanda hari Kiamat yang lain. Maka setelah kita perhatikan dengan seksama, ternyata kita berada di suatu masa yang sangat dekat sekali dengan hari Kiamat.
Hendaklah kaum Muslimin memperhatikan dan mempersiapkan diri untuk menyongsongnya. Dunia adalah ladang beramal dan akhirat tempat penilaian amal. Maka orang yang beruntung adalah yang bisa menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk akhiratnya, sedangkan orang yang merugi adalah yang tidak waspada dengan akhiratnya dan selalu mengikuti hawa nafsunya.

Rasulullah pernah menggambarkan tentang keadaan Ummat ini, melalui masa – masa yang persis telah di alami ummat islam saat sekarang. Dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh imam Ahmad beliau menjelaskan :
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ (رواه أحمد)
Dari Nu’man bin Basyir berkata : kami duduk-duduk di masjid bersama rasulullah, sedangkan Basyir adalah seorang yang suka mengumpulkan hadits rasulullah, maka datanglah Abu Tsa’labah Al Khusyani maka dia berkata : wahai Basyir bin Sa’ad, apakah engkau hafal hadits rasulullah tentang umara’ (kepemimpinan) ? maka Hudzaifah berkata : aku hafal khutbahnya, Maka Abu Tsa’labah duduk bersamanya, lalu Hudzaifah berkata : Rasulullah bersabda :
1. Aakan datang pada kalian masa kenabian sesuai dengan kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya menurut yang Ia kehendaki,
2. Kemudian datang zaman khilafah rasyidin sesuai dengan kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya menurut yang Ia kehendaki,
3. Kemudian datang masa kerajaan yang turun menurun sesuai dengan kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya menurut yang Ia kehendaki,
4. Kemudian datang masa pemerintahan keditatoran (paksaan) sesuai dengan kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya menurut yang ia kehendaki.
5. Kemudian datang masa khilafah yang sesuai dengan manhaj nubuwah. Kemudian beliau diam. (HR. Ahmad).
Demikianlah rasulullah menggambarkan kondisi pemerintahan yang akan di alami kaum muslimin, dan itu semua sudah terjadi. Tinggal kita menunggu masa yang terakhir, yaitu kemunculan khilafah ‘ala manhajin Nubuwah, apakah yang di maksud adalah kemunculan Imam Mahdi yang di janjikan ? kalau memang yang dimaksud adalah benar Imam Mahdi, berarti kita benar – benar berada di akhir zaman, dan kita akan menemui Al Masih Ad Dajjal Al A’war yang merupakan fitnah terbesar bagi ummat islam, semoga kita tidak di temukan oleh Allah dengannya, wallahu a’lam.



Rabu, 14 Juli 2010




ini adalah panorama alam gunung seminung yang di atas danau ranau di ambil 10 juli 2010 bersama teman-teman BMC.

Selasa, 06 Juli 2010

BIRRUL WALIDAIN

BIRRUL WALIDAIN
(Oleh : Dwi Henri W)

A.Pendahuluan
Sesungguhnya, segala puji bagi Allah SWT kita memujinya memohon pertolongan dari padanya, meminta ampunan darinya dan meminta perlindungan dari padanya dari kejahatan diri kita serta keburukan amal kita, sholawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Muhammad, utusan yang mulia dan imam-imam orang yang bertakwa,juga seluruh keluarga dan para sahabat beliau, amma ba’du.
Birrul walidain istilah ini berasal langsung dari nabi Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Abdullah ibn Mas’ud seorang sahabat nabi yang terkenal bertanya pada rasullullah tentang amalan apa yang paling disukai oleh Allah SWT , beliau menyebutkan pertama sholat pada waktunya kedua birrul walidain dan yang ketiga jihad fisabilillah.Dapat kita lihat bahwa Birrul walidain termasuk dalam amalan yang paling dicintai Allah SWT .Tapi kita lihat fenomena yang terjadi pada masyarakat pada saat ini banyak anak yang tidak lagi menghormati kedua orang tua mereka dimana orang tua hanya dijadikan “pelayan” untuk mereka yang dapat disuruh sekehendak hati dan memenuhi segala kebutuhannya.Dan menganggap bahwa kebaikan kedua orang tua merupakan kewajibannya tanpa mempedulikan hak-hak kedua orang tua mereka.Maka merekalah orang orang yang hina budi pekertinya dan selalu durhaka terhadap kedua orang tuanya Rasullulah bersabda:
“Dosa –dosa besar adalah mempersekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua ,membunuh orang dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari).

B. ISI
Di dalam ajaran islam birrul walidain menempati kedudukan yang istimewa kita diperintahkan untuk ihsan kepada ibu dan bapak Allah SWT berfirman:
“Dan kami wasiatkan kepada umat manusia supaya berbuat kebaikan kepada dua orang ibu bapak.” (QS. Almaidah 29).
Allah SWT dan rasulnya menempatkan orang tua pada posisi yang sangat istimewa sehingga berbuat baik pada keduanya menempati posisi yang sangat mulia dan sebaliknya durhaka kepada keduanya menempati posisi yang sangat hina. Hal demikian menurut hemat kita, mengingat jasa bapak ibu yang sangat besar sekali dalam reproduksi dan regenerasi umat manusia secara khusus Allah SWT mengingatkan,betapa besar jasa dan perjuangan seorang ibu dalam mengandung, menyusui, merawat,dan mendidik anaknya dijelaskan dalam al-quran Allah berfirman :
“Dan kami perintahkan kepada manusia (supaya berbuat baik ) kepada dua orang ibu bapaknya ;ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah dan menyusukan dalam 2 tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kedua orang tuamu, hanya kepadakulah tempat kembali.(QS. Luqman 31)
Dalam sebagian cerita hiburan yang ada disebutkan, bahwa ada seorang mendengar seorang arab badui (pedalaman) sedang menggendong ibunya yang thawaf mengililingi ka’bah, sambil berdendang ria.
“Sesungguhnya aku mempunyai hewan tunggangan yang jinak untuk dia ketika para penunggang berlarian aku sendiri tidak lari aku tidak mengendong, padahal ibuku telah menyusui aku lebih banyak.Allah SWT Tuhanku yang memiliki keagungan lebih besar .
Kemudian orang itu menoleh kearah ibnu abbas dan berkata apakah engkau melihat aku bahwa aku sudah memenuhi haknya “ Ibnu abbas menjawab , ”tidak dan tidak ada sesuatu yang menyamai sedikitpun perasaan sakit yang diderita ibumu ketika melahirkan. Tetapi engkau telah berbuat baik Allah SWT akan membalasmu dari yang sedikit menjadi banyak “.
Dapat kita pahami dari riwayat tersebut bahwa pengorban seorang ibu dan bapak tidak dapat dibalas dengan seluruh kebaikan yang ada didunia ini. Betapa besar jasa kedua orang tua kita yang telah melahirkan,merawat kita hingga tumbuh menjadi dewasa dan mandiri.Dimana saat kita masih kanak-kanak diajarkan olehnya cara berbicara cara,memakai pakaian,dan mengurusi diri kita sendiri tanpa kita sadari bahwa orang tua adalah guru yang mengajarkan banyak hal pada kita.
Didalam berbakti kepada kedua orang tua kita tidak terbatas akan ruang dan waktu,baik kedua orang tua kita masih hidup maupun telah meninggal.Ada riwayat yang mengisahkan bahwa salah seorang dari kaum Anshor datang kepada Rasullulah shallallahu a’lai wa sallam bersabda “ ya, ada yaitu empat hal: mendoakan kedunya, melaksanakan janji keduanya, memuliakan teman-teman keduanya, menyambung sanak famili dimana engkau tidak mempunyai hubungan kekerabatan kecuali dari jalur keduanya setelah kematian keduanya (diriwayatkan Abu Daud).
Rasulullah bersabda :
“sesungguhnya bakti terbaik adalah hendaknya seorang anak tetap menyambung hubungan keluarga ayahnya setelah ayahnya menyambungnya” (Diriwayatkan Muslim).
Setelah orang muslim mengetahui hak kedua orang tua atas dirinya dan menunaikan dengan sempurna karena mentaati Allah SWT Ta’ala dan merealisir wasiat-wasiatnya, juga menjaga etika- etika terhadap keduanya yaitu:
• Taat kepada kedua orang tua dalam semua perintah dan larangan keduanya, selamnya didalamnya tidak terdapat kemaksiatan kepada Allah SWT, dan pelanggaran terhadap syariatnya, karena manusia tidak berkewajiban taat kepada manusia sesamanya dalam bermaksiat kepada Allah SWT, berdasarkan dalil berikut :
“Sesunguhnya ketaatan itu hanya ada dalam kebaikan .”(Muttafaq alaih)
• Hormat dan menghargai kepada keduanyadengan perkataan dan perbuatan yang baik,tidak menghardik dan tidak mengangkat suara diatas suara keduanya, tidak berjalan didepan keduanya,tidak mendahulukan istri dan anak atas keduanya, tidak memanggil keduanya dengan namanya namun memanggilnya dengan panggilan ,”Ayah, Ibu,”dan tidak bepergian kecuali dengan izin dan kerelaan keduanya.
• Berbakti kepada keduanya dengan apa saja yang mampu ia kerjakan,dan sesuai dengan kemampuannya,seperti memberi makan pakaian kepada keduanya,mengobati penyakit keduanya,menghilangkan madzarat dari keduanya, dan mengalah untuk kebaikan keduanya.
• Menyambung hubungan kekerabatan kecuali dari jalur kedua orang tuanya,mendoakan dan memintakan ampunan untuk keduanya, melakasanakan janji janjinya , dan memuliakan teman –teman keduanya.

C. PENUTUP
Berbuat baik ataupun berbakti kepada kedua orang tua merupakan manifestasi ketaatan kita terhadap perintah Allah SWT dan rasulnya dan derajat berbuat baik kepada keduanya lebih tinggi daripada derajat bersikap adail. Bahkan Allah SWT memposisikan perbuatan baik untuk keduanya setelah beribadah kepada-Nya secara langsung, seperti dalam firman-Nya:
Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.(Al-Isra’:23) .
Dan nerakalah tampat bagi orang –orang yang durhaka kepada keduanya“Sesungguhya Allah SWT mengharamkan atas kalian durhaka kepada kedua orang tua, menahan hak,dan mengubur hidup anak permpuan. Allah SWT membenci untuk kalian gosip, banyak bertanya ,dan menyia-nyiakan harta’(Muttafaq alaih).
Dengan berbakti terhadap keduanya maka kita telah berbuat baik dan Allah SWT akan membalas dari apa yang sedikit menjadi banyak . Baik di dunia maupun di akhirat, Amin.






DAFTAR PUSTAKA

1. DR. Najih Ibrahim ,1424 H, Kepada aktivis islam,cetakan pertama, Rabitha Pustaka.
2. Dr. Muhammad khan Fatimah, 2002,Etika muslim sehari-hari, cetakan pertama, Darr khan Berut.
3. Dr. H Yunahar Ilyas, Lc, M , 1999, Kuliah ahklaq, Pelajar ofset.
4. Abu Bakr Jabir Al-jazairi, 2001,Minhajul Muslim,Cetakan kedua ,Darul falah Jakarta timur.

Senin, 05 Juli 2010

في أدب الخلاف

بسم الله الرحمن الرحيم

القواعد الذهبية في أدب الخلاف
الحمد لله الذي لا إله إلا هو له الحمد في الأولى والآخرة ، وله الحكم وإليه ترجعون ، والصلاة والسلام على النبي الكريم الذي كان يستفتح صلاته بقوله: الله رب جبريل وميكائيل وإسرافيل فاطر السموات والأرض اهدني لما اختلف فيه من الحق بإذنك إنك تهدي من تشاء إلى صراط مستقيم، وعلى آله وأصحابه ومن سار على هداهم من أهل الحق والدين إلى يوم البعث والنشور ..
وبعد ،،
فهذه قواعد جمعتها في الأدب الواجب على أهل الإسلام عند الاختلاف عملاً بقوله سبحانه وتعالى : (وما اختلفتم فيه من شئ فحكمه إلى الله) الشورى:10
وقوله سبحانه: (يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلاً) النساء:59
وقوله تعالى: (واعتصموا بحبل الله جميعاً ولا تفرقوا) آل عمران:103
أسأل الله أن ينفع بها عباده المؤمنين في مشارق الأرض ومغاربها ، وقد جعلناها مختصرة موجزة ليسهل جمعها، ولا يعسر على طالب العلم التوسع فيها ، وفهمها ، والحمد لله رب العالمين .
القواعد الذهبية لماذا؟
قد يسأل سائل لماذا سميت هذه القواعد الذهبية؟
والجواب أن القاعدة الواحدة منها أفضل لطالب العلم ومبتغي الحق من اكتساب الألوف من دنانير الذهب .
ذكر الإمام ابن كثير - رحمه الله - في ترجمته لحبر هذه الأمة وأعلمها بكتاب الله ، وهو عبد الله بن عباس رضي الله عنه هذا الخبر :
وقال بعضهم أوصى ابن عباس بكلمات خير من الخيل الدهم ، وقال : (لا تكَلَّمن فيما لا يعنيك حتى تجد له موضعاً ، ولا تُمار سفيهاً ولا حليماً فإن الحليم يغلبك ، والسفيه يزدريك ، ولا تَذْكُرَنَّ أخاك إذا توارى عنك إلا بمثل الذي تحب أن يتكلم فيك إذا تواريت عنه ، واعمل عمل من بعلم أنه مجزي بالإحسان مأخوذ بالإجرام) .
فقال ابن عباس : (كلمة منه خير من عشرة آلاف) . البداية والنهاية 308/8
وهذه الكلمات من ابن عباس رضي الله عنهما قواعد في الأخلاق ، وآداب الجدال لا تقدر بمال .
أولاً: قواعد عامة في الخلاف:
1) ما لا يتطرق إليه الخلل ثلاثة: كتاب الله ، وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم ، وإجماع الصحابة ، وما سوى ذلك ليس بمعصوم:
الأصول التي يتطرق إليها الخلل والتي يجب الرجوع إليها عند كل خلاف هي كتاب الله سبحانه وتعالى ، وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم الثابتة الصحيحة ، ثم ما علم يقيناً أن أمة الإسلام جميعها اجتمعت عليه ، وما سوى هذه الأصول الثلاثة فليس بمعصوم من الخطأ .
ويترتب على القاعدة السابقة ما يلي:
أ) لا يجوز لأحد أن يخرج عن المقطوع دلالته من كتاب الله ، وسنة رسوله ، وما علم يقيناً أن الأمة قد أجمعت عليه.
ب) ظني الدلالة من الكتاب والسنة يرد إلى المقطوع ، والمتشابه يرد إلِى المحكم لقوله تعالى : (هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب ، وأخر متشابهات فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله وما يعلم تأويله إلا الله والراسخون في العلم يقولون آمنا به كل من عند ربنا وما يتذكر إلا أولو الألباب) آل عمران:7
ج) ما تنازع فيه المسلمون يجب أن يردوا الخلاف فيه إلى كلام الله ، وكلام رسوله ، عملاً بقوله تعالى : (يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلاً) النساء:59
2) رد المعلوم من الدين ضرورة كفر:
لا يجوز الخلاف في حكم من الأحكام المقطوع بها في الإسلام ، والمقطوع به هو المجمع عليه إجماعاً لا شبهة فيه ، والمعلوم من الدين بالضرورة كالإيمان بالله وملائكته ، وكتبه ، ورسله ، واليوم الآخر ، والقدر خيره وشره من الله تعالى ، وأن القرآن الذي كتبه الصحابة ويقرؤه المسلمون جميعاً إلى يومنا هذا هو كتاب الله لم ينقص منه شيء ، والصلوات الخمس ، وصيام شهر رمضان ، ووجوب الزكاة والحج ، وحرمة الربا والزنا ، والخمر ، والفواحش ، ونحو ذلك من المعلوم من الدين بالضرورة أنه من الإسلام ، وكل ذلك لا يجوز فيه خلاف بين الأمة ورد هذا ومثله كفر .
3) الخلاف جائز في الأمور الاجتهادية:
الأحكام الاجتهادية الخلافية التي وقع التنازع فيه بين الأمة في عصور الصحابة ومن بعدهم إلى يومنا هذا يجوز فيها الاختلاف ، ولا يجوز الحكم على من اتبع قولاً منها بكفر ولا فسق ولا بدعة .
ولمن بلغ درجة النظر والاجتهاد أن يختار منها ما يراه الحق ، ولمن عرف الأدلة وأصول الفقه أن يرجح بين الأقوال ، ولا بأس بالتصويب والتخطيء ، وبالقول إن هذا راجح ، وهذا مرجوح ، وذلك كرؤية النبي صلى الله عليه وسلم ربه ليلة المعراج ، وقراءة الفاتحة وراء الإمام في الجهرية ، والجهر والإسرار ببسم الله الرحمن الرحيم ، وإتمام الصلاة في السفر .
4) وقوع الاختلاف وكونه رحمة وسعة أحياناً:
الخلاف في الأمور الاجتهادية الظنية واقع من الصحابة والتابعين والأئمة وجميع علماء وفضلاء هذه الأمة ، وذلك أنه من لوازم غير المعصوم ، ولا معصوم إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم ،وأما من بعده فلا عصمة لأحد منهم ، والخطأ واقع منهم لا محالة.
وهذا الخلاف الجائز ، أو السائغ ، قد نص كثير من سلف الأمة أن فيه أنواعاً من الرحمة لهذه الأمة:
أ) الرحمة في عدم المؤاخذة:
(ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا) البقرة:286 وقد ثبت في صحيح البخاري رحمه الله أن الله قال بعد أن أنزل هذه الآية ، وتلاها الصحابة : قد فعلت ، والمجتهد المخطئ معذور ، بل مأجور أجراً واحداً كما جاء في الصحيحين : إذا حكم الحاكم ثم اجتهد فأصاب فله أجران ، وإذا اجتهد فله أجر واحد. متفق عليه.
ب) الرحمة والسعة في جواز أخذ القول الاجتهادي كما نص على ذلك غير واحد من الأئمة المجتهدين:
قال ابن قدامة رحمه الله في مقدمة كتابه المغني : (أما بعد ... فإن الله برحمته وطوله جعل سلف هذه الأمة أئمة من الأعلام مهد بهم قواعد الإسلام وأوضح بهم مشكلات الأحكام : اتفاقهم حجة قاطعة واختلافهم رحمة واسعة).
وقال الإمام الحجة القاسم بن محمد بن أبي بكر الصديق رضي الله عنهم : (لقد نفع الله باختلاف أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم في أعمالهم ، لا يعمل العامل بعمل رجل منهم إلا رأى أنه في سعة، ورأى أن خيراً منه قد عمل عمله) جامع بيان العلم وفضله 80/4
وذكر ابن عبد البر في كتابه جامع بيان العلم وفضله: (أن عمر بن عبد العزيز والقاسم بن محمد اجتمعا فجعلا يتذكران الحديث فجعل عمر يجيء بالشيء مخالفاً فيه القاسم ، وجعل ذلك يشقُّ على القاسم حتى تبين فيه فقال له عمر : لا تفعل فما يسرني أن لي باختلافهم حمر النعم) جامع بيان العلم وفضله 80/2
وذكر شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله : (أن رجلاً صنف كتاباً في الاختلاف فقال أحمد : لا تُسمِّه كتاب الاختلاف ، ولكن سمه كتاب السعة) . الفتاوى 79/30
5) يجب اتباع ما ترجح لدينا أنه الحق:
ما تنازع فيه الصحابة وأئمة الإسلام بعدهم ، وعلم بعد ذلك أن النص بخلافه فإنه يجب علينا فيه اتبع ما تبين أنه موافق للدليل ، وعدم اتهام السابقين بكفر أو فسق أو بدعة وذلك : كترك الجنب الذي لا يجد ماء للصلاة حتى يجد الماء ، وصرف الدينار بالدينارين ، ونكاح المتعة ، ومنع التمتع في الحج ، وجواز القدر غير المسكر من خمر العنب ، ومثل هذه المسائل كثير .
6) أسباب الخلاف التي يعذر فيها:
أسباب الخلاف التي يعذر فيها المخالفون كثيرة : كمعرفة بعضهم بالدليل ، وجهل بعضهم له والاختلاف حول صحة الدليل ، وضعفه ، وكونه نصاً على المسألة أو ظاهراً أو مؤولاً، وتفاوت فهمهم للنص وتقديم بعضهم دلالة من دلالات النص على أخرى ، كمن يقدم الفحوى على الظاهر ، وكمن يقدم الظاهر على الفحوى،كما اختلفوا في قوله صلى الله عليه وسلم : (لا يصلين أحدٌ العصر إلا في بني قريظة، فأدرك بعضهم العصر في الطريق ، فقال بعضهم لا نصلي حتى نأتيهم وقال بعضهم ، بل نصلي ، لم يرد منا ذلك فذكر ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم فلم يعنف واحداً منهم) متفق عليه
ومثل هذه الأسباب يعذر أصحابها إذا اجتهد كل منهم لمعرفة الحق .
7) أسباب الخلاف التي لا يعذر فيها المخالف:
وأما الأسباب الأخرى التي لا يعذر فيها المخالف فهي الحسد والبغي ، والمراءاة والانتصار للنفس ومن كانت هذه دوافعه للخلاف ، حرم التوفيق والإنصاف ، ولم يهتد إلا للشقاق والخلاف كما قال تعالى: (كان الناس أمة واحدة فبعث الله النبيين مبشرين ومنذرين ، وأنزل معهم الكتاب بالحق ليحكم بين الناس فيما اختلفوا فيه ، وما اختلف فيه إلا الذين أوتوه من بعد ما جاءتهم البينات بغياً بينهم ، فهدى الله الذين آمنوا لما اختلفوا فيه من الحق بإذنه والله يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم) البقرة:213
فالذين هداهم الله هم الذين لا يبغون .
8) وجوب طاعة الإمام في الأمور العامة وإن أساء ما لم يخرج من الإسلام:
منهج أهل السنة والجماعة الصلاة خلف أئمة الجور والجهاد معهم ، وإن كانوا فجاراً ، والصوم بصومهم والحج بحجهم ، وإعطاء الزكاة لهم .
ففي الصلاة صلى المسلمون خلف الذين حاصروا الخليفة الراشد عثمان بن عفان رضي الله عنه ، وصلى السلف خلف الحجاج والوليد ، والمختار بن أبي عبيد ، وأمر النبي صلى الله عليه وسلم بالصلاة خلف الولاة وإن كانوا يؤخرون الصلاة عن وقتها .
وفي الزكاة قال النبي صلى الله عليه وسلم : (أدوا إليهم حقهم ، وسلوا الله حقكم) متفق عليه
9) لا يجوز للإمام أن يحجر نشر علم يخالفه:
ليس لإمام المسلمين أن يحجر الناس من نشر علم يخالف رأيه ، أو مذهبه ، بل عليه أن يترك كل مسلم وما تولى، كما ترك عمر رضي الله عنه عماراً وغيره يذكر ما يأثره عن الرسول رضي الله عنه في التيمم.
وأفتى ابن عباس وابن عمر رضي الله عنهم بخلاف رأي عمر رضي الله عنه في متعة الحج ، وأفتى حذيفة وغيره من الصحابة رضي الله عنهم أجمعين بخلاف رأي عثمان رضي الله عنه في إتمام الصلاة بعرفة ومنى .
ولكن يجب على الإمام أن يمنع نشر الكفر والبدع والزندقة ، وأن يقيم الحدود الشرعية في ذلك ، فسب الله وسب رسوله وسب دينه يوجب القتل لقوله صلى الله عليه وسلم : من بدل دينه فاقتلوه»رواه البخاري ، والساعي في المتشابهات ، والتشكيك في الدين يجب تعزيره كما فعل عمر رضي الله عنه مع صبيغ بن عسل .
والمسلم المتأول المخطئ يناقش في خطئه ، وتأوله كما فعل عمر رضي الله عنه أيضاً مع الذين شربوا الخمر تأولاً .
ولا يجوز الحكم على متأول إلا بعد قيام الحجة عليه .
10) لكل مسلم الحق بل عليه الواجب في إنكار المنكر والأمر بالمعروف:
لما كان الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر واجباً من الله على كل مسلم وجب على ولي الأمر إطلاق يد المسلم في ذلك إلا ما كان من حقوقه هو كإقامة الحدود ، والتعازير ، وأما ما كان تحت ولاية المسلم فهذا له كتأديب الزوجة ، والولد في حدود ما شرعه الله في ذلك ، وكذلك إنكار المنكر باللسان ، لو كان هو منكر الإمام نفسه عملاً بقوله تعالى : (إن الذين يكتمون ما أنزلنا من البينات والهدى من بعد ما بيناه للناس في الكتاب أولئك يلعنهم الله ويلعنهم اللاعنون إلا الذين تابوا وأصلحوا وبينوا فأولئك أتوب عليهم وأنا التواب الرحيم) البقرة:159-160
فلا يجوز للمسلم أن يكتم علماً ، ولا أن يقر على باطل إذا علم أن إقراره رضا ومتابعة ، وقد بين النبي صلى الله عليه وسلم ذلك حيث يقول : (ستكون أمراء فتعرفون وتنكرون ، فمن عرف برئ ، ومن أنكر سلم ولكن من رضي وتابع، قالوا : أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا . ما صلوا) رواه مسلم
ونص الحديث أن المسلم لا يبرأ إلا بالإنكار ، وقد يسلم بالسكوت وعدم الرضا إذا لم يستطع الإنكار باللسان .
ثانياً: الآداب التي يجب اتباعها للخروج من الخلاف:
هذه جملة من الآداب التي إذا اتبعها المسلمون فيما ينشأ بينهم من خلاف اهتدوا بحول الله ومشيئته ورحمته إلى الحق .
1) التثبت من قول المخالف:
أول ما يجب على المسلم أن يتثبت في النقل ، وأن يعلم حقيقة قول المخالف ، وذلك بالطرق الممكنة كالسماع من صاحب الرأي نفسه ، أو قراءة ما ينقل عنه من كتبه لا مما يتناقله الناس شفاهاً ، أو سماع كلامه من شريط مسجل أيضاً مع ملاحظة أن الأشرطة الصوتية يمكن أن يدخل عليها القطع والوصل ، وحذف الكلام عن سياقه ، ولذلك . يجب سماع الكلام بكامله ولو أن أهل العلم يتثبتون فيما ينقل إليهم من أخبار لزال معظم الخلاف الذي يجري بين المسلمين اليوم ، وقد أمرنا الله بالتثبت كما قال سبحانه وتعالى: (يا أيها الذين آمنوا إن جاءكم فاسق بنبأ فتبينوا أن تصيبوا قوماً بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمين) الحجرات:6
وقال تعالى : (ولا تقف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسؤولاً) الإسراء:36
وقد وقفت بنفسي أنا كاتب هذه السطور على حالات كثيرة من الخلاف التي كان أساسها التسرع في النقل، وعدم التثبت فيه ، وعندما وقع التثبت تبين أن الأمر بخلافه.
2) تحديد محل التنازع والخلاف:
كثيراً ما يقع الخلاف بين المخالفين ، ويستمر النقاش والردود وهم لا يعرفون على التحديد ما نقاط الخلاف بينهم، ولذلك يجب أولاً قبل الدخول في نقاش أو جدال تحديد مواطن الخلاف تحديداً واضحاً حتى يتبين أساساً الخلاف، ولا يتجادلان في شيء قد يكونان هما متفقين عليه ، وكثيراً ما يكون الخلاف بين المختلفين ليس في المعاني ، وإنما في الألفاظ فقط فلو استبدل أحد المختلفين لفظة بلفظة أخرى لزال الإشكال بينهما .
ولذا لزم تحديد محل الخلاف تحديداً واضحاً.
3) لا تتهم النيات:
مهما كان مخالفك مخالفاً للحق في نظرك فإياك أن تتهم نيته ، افترض في المسلم الذي يؤمن بالقرآن والسنة ولا يخرج عن إجماع الأمة ، افترض فيه الإخلاص ، ومحبة الله ورسوله ، والرغبة في الوصول إلى الحق ، وناظره على هذا الأساس، وكن سليم الصدر نحوه.
لا شك أنك بهذه الطريقة ستجتهد في أن توصله إلى الحق إن كان الحق في جانبك وأما إذا افترضت فيه من البداية سوء النية ، وقبح المقصد فإن نقاشك معه سيأخذ منحى آخر وهو إرادة كشفه وإحراجه ، وإخراج ما تظن أنه خبيئة عنده ، وقد يبادلك مثل هذا الشعور ، فينقلب النقاش عداوة ، والرغبة في الوصول إلى الحق رغبة في تحطيم المخالف وبيان ضلاله وانحرافه.
4) أخلص النية لله:
اجعل نيتك في المناظرة هو الوصول إلى الحق وإرضاء الله سبحانه وتعالى ، وكشف غموض عن مسألة يختلف فيها المسلمون ، ورأب الصدع بينهم ، وجمع الكلمة وإصلاح ذات البين .
وإذا كانت هذه نيتك فإنك تثاب على ما تبذله من جهد في هذا الصدد . قال تعالى : فاعبد الله مخلصاً له الدين ، وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى) متفق عليه
5) ادخل إلى المناظرة وفي نيتك أن تتبع الحق وإن كان مع خصمك ومناظرك:
يجب على المسلم الذي يخالف أخاه في مسألة ويناظره فيها ألا يدخل نقاشاً معه إلا إذا نوى أن يتبع الحق أني وجده ، وأنه إن تبين له أن الحق مع مخالفه اتبعه وشكر لأخيه الذي كان ظهور الحق على يده لأنه لا يشكر الله من لا يشكر الناس.
6) اتهم رأيك:
يجب على المسلم المناظر وإن كان متأكداً من رأيه أنه صواب أن يتهم رأيه ، ويضع في الاحتمال أن الحق يمكن أن يكون مع مخالفه ، وبهذا الشعور يسهل عليه تقبل الحق عندما يظهر، ويلوح له .
7) قبول الحق من المخالف حق وفضيلة:
إن قبول الحق من مخالفك حق وفضيلة ، فالمؤمن يجب أن يذعن للحق عندما يتبينه ، ولا يجوز له رد الحق ، لأن رد الحق قد يؤدي إلى الكفر كما قال صلى الله عليه وسلم: (لا تماروا في القرآن فإن مراء في القرآن كفر ..) رواه أحمد وصححه الألباني في صحيح الجامع 4444
والمماراة هنا معناها المجادلة ، ودفع دلالته بالباطل لأن هذا يكون تكذيباً لله ورداً لحكمه ، وليس تكذيباً للمخالف .
ورد الحق كبراً من العظائم ، وقد فسر النبي صلى الله عليه وسلم الكبر فقال صلى الله عليه وسلم: (الكبر بطر الحق وغمط الناس) رواه مسلم وبطر الحق رده .
8) اسمع قبل أن تُجِب:
من آداب البحث والمناظرة أن تسمع من مخالفك قبل أن ترد وأن تحدد محل الخلاف قبل أن تخوض في الموضوع.
9) اجعل لمخالفك فرصة مكافئة لفرصتك:
يجب على كل مختلفين أن يعطي كل منهما للآخر عند النقاش فرصة مكافئة لفرصته فإن هذا أول درجات الإنصاف .
10) لا تقاطع:
انتظر فرصتك في النقاش ، ولا تقاطع مخالفك وانتظر أن ينتهي من كلامه .
11) اطلب الإمهال إذا ظهر ما يحتاج أن تراجع فيه نفسك:
إذا ظهر لك أن أمراً ما يجب أن تراجع فيه النفس وتتفكر فيه لتتخذ قراراً بالعدول عن رأيك أو إعادة النظر فيه ، فاطلب الإمهال حتى تقلِّب وجهات النظر . وأما إذا تحققت من الحق فبادر إعلانه ،والإذعان له فإن هذا هو الواجب عليك فالذي يخاصمك بالآية والحديث يطلب منك في الحقيقة الإذعان إلى حكم الله وحكم رسوله .
وكل من ظهر له حكم الله وحكم رسوله وجب عليه قبوله فورا كما قال تعالى : (إنما كان قول المؤمنين إذا دعوا إلى الله ورسوله ليحكم بينهم أن يقولوا سمعنا وأطعنا وأولئك هم المفلحون) النور:51
12) لا تجادل ولا تمار:
لا يكن دخولك في نقاش مع أخيك المسلم هدفه الجدال والمماراة ، بل يجب أن يكون مقصدك معرفة الحق، أو توضيحه لمخالفك ، لأن الجدال مذموم والمماراة مذمومة ، والجدال والمماراة أن يكون الانتصار لرأيك; وقطع خصمك وإثبات جهله ، أو عجزه ، وإثبات أنك الأعلم أو الأفهم . أو الأقدر على إثبات الحجة.
13) حدد مصطلحاتك واعرف جيداً مصطلحات مخالفك:
كثيراً ما يتجادل اثنان ويختلف قوم ولا يكون سبب خلافهم إلا أنهم يستعملون كلمات ومصطلحات كل منهم يفهمها بمعنى يختلف عما يفهمها الآخر .
من أجل ذلك يجب عليك أن تحدد معاني كلماتك التي قد يفهمها مخالفك على صورة أخرى ، وكذلك المصطلحات التي تستعملها ، وأسأل مخالفك عن معاني كلماته ، ومصطلحاته حتى تعرف مراده من كلامه .
ومن المصطلحات التي يختلف في معناها الناس في الوقت الحاضر:
المنهج ، طريق السلف ، وسائل الدعوة ، أساليب الدعوة ،البدعة المكفرة ، الهجر ، التطرف ، الإرهاب ، الخروج ... الخ، وكذلك يجب أن تعلم أن مخالفك يفهم هذه المصطلحات كما نفهمها أنت ، أو كما هو معناها الحقيقي في اصطلاح العقيدة ، الأصول ، البدعة .


14) إذا تيقنت أن الحق مع مخالفك فاقبله وإذا قبل منك الحق فاشكره ولا تمن عليه:
يجب على المسلم إذا علم الحق من كلام مخالفه أن يبادر إلى قبوله فوراً لأن مخالفك في الدين يدعوك إلى حكم الله حكم رسوله ، وليس إلى حكم نفسه .
وأما اذا كان رأياً مجرداً ، ورأيت أن الحق معه ، وأن المصلحة الراجحة في اتباعه فاقبله أيضاً لأن المسلم رجاع إلى الحق .
وأما إذا وافقك مخالفك ، ورجع عن قوله إلى قولك فاشكر له إنصافه ، وقبوله للحق ، واحمد الله أن وفقك إلى إقالة عثرة لأخيك ، وبيان حق كان غائباً عنه.
15) لا تيأس من قبول مخالفك للحق:
لا تكن عجولاً متبرماً غضوباً إلى اتهام مخالفك الذي لم يقبل ما تدلي به من حجة ، وإن كنت على يقين مما عندك، ولا تيأس أن يعود مخالفك إلى الحق يوماً ، ولربما خالفك مخالف الآن ثم يعود بعد مدة إلى الحق فلا تعجل.
16) أرجئ النقاش إلى وقت آخر إذا علمت أن الاستمرار فيه يؤدي إلى الشقاق والنفور:
إذا تيقنت أن النقاش والحوار سيؤدي الاستمرار فيه إلى الشقاق ، والنفور فاطلب رفع الجلسة ، وإرجاء النقاش إلى وقت آخر ، وتذكر حديث النبي صلى الله عليه وسلم : (أنا زعيم ببيت في ربض الجنة لمن ترك المراء وإن كان محقاً) رواه أبو داود ، وحسنه الألباني في السلسلة 273
17) الإبقاء على الأخوة مع الخلاف في الرأي في المسائل الخلافية أولى من دفع المخالف إلى الشقاق والعداوة:
إذا علمت من مخالفك أنه لا يبقى أخاً إلا ببقائه على ما هو عليه من أمر مرجوح ورأي مخالف للحق في نظرك فتركه على ما هو عليه أولى من دفعه إلى الشقاق والخلاف لأن بقاء المسلمين أخوة في الدين مع اختلافهم في المسائل الاجتهادية خيرمن تفرقهم وتمزقهم وبقائهم على خلافاتهم ...
ثالثاً: ما بعد الخلاف.
إذا وقع الخلاف بين مسلم وآخر في المسائل التي يسوغ فيها الخلاف ، وهي الأمور الاجتهادية ، أو الأمور التي اختلف الصحابة والأئمة فيها قديماً فإن الواجب الشرعي هو اتباع الخطوات السابقة في أدب الخلاف والمناظرة .
ولا شك أنه لو اتبعت الخطوات السابقة قضي على الخلاف بإذن الله ، ووصل المختلفان إلى الاتفاق ، ووفقا بحول الله إلى الحق .
وأما إذا ظهر لكل منهما صحة نظره وسلامة قوله ، وأنه لا يستطيع أن يدين الله إلا بما يراه ، فإن واجب المختلفين ما يأتي:
1) إعذار المخالف وترك أمره لله سبحانه وتعالى:
الأدب الشرعي الأول هو إعذار من يخالفك الرأي من المسلمين في الأمور الاجتهادية ، وإيكال أمره لله ، وتنزيهه من فساد النية ، وإرادة غير الحق ما دام ظاهره هو الدين والعدل.
2) إبقاء الأخوة:
لا يجوز لمسلم أن يقاطع أخاه المسلم لرأي ارتآه ، أو اجتهاد اجتهد في ما دام يعلم أنه تحرى الحق ، واتبع ما يظن أنه الصواب ، ولا يجوز في مثل هذه الحالة هجران أو تعزير ، ولا شك أنه لو أن كل مختلفين تهاجرا لم يبق مسلم مع مسلم .
3) لا تشنيع ولا تفسيق ولا تبديع للمخالف في الأمور الاجتهادية:
لا يجوز اتهام المخالف ولا التشنيع عليه ، ولا ذكره من أجل مخالفته ، ولا تبديعه ، ولا تفسيقه ومن صنع شيئاً من ذلك فهو المبتدع المخالف لإجماع الصحابة.
قال شيخ الإسلام ابن تيمية : (وقد اتفق الصحابة في مسائل تنازعوا فيها على إقرار كل فريق للفريق الآخر على العمل باجتهادهم ، كمسائل في العبادات ، والمناكح والمواريث والعطاء ، والسياسة ، وغير ذلك ، وحكم عمر أول عام في الفريضة الحمارية بعدم التشريك ، وفي العام الثاني بالتشريك في واقعة مثل الأولى ، ولما سئل عن ذلك قال : تلك على ما قضينا وهذه على ما نقضي. وهم الأئمة الذين ثَبَتَ بالنصوص أنهم لا يجتمعون على باطل ولا ضلالة ، ودل الكتاب والسنة على وجوب متابعتهم) مجموع الفتاوى.
وقال الإمام الذهبي في ترجمة الإمام محمد بن نصر المروزي : (ولو أنا كلما أخطأ إمام في اجتهاده في آحاد المسائل خطأ مغفوراً له قمنا عليه وبدعناه ، وهجرناه ، لما سلم معنا ابن نصير ، ولا ابن مندة ، ولا من هو أكبر منهما ، والله هو هادي الخلق إلى الحق ، هو أرحم الراحمين ، فنعوذ بالله من الهوى والفظاظة) سير أعلام النبلاء 40/14
4) لا يجوز التشنيع ولا التبديع ولا التفسيق لأحد من سلف الأمة ومجتهديها إذا خالف بعض الأمور القطعية اجتهاداً:
ولا يجوز لنا التشنيع ولا التبديع ولا التفسيق لأحد من سلف الأمة المشهود لهم بالخير ، إذا علم أنه خالف في بعض الأمور القطعية اجتهاداً منه .
قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله : (وليس في ذكر كون المسألة قطعية طعن على من خالفها من المجتهدين كسائر المسائل التي اختلف فيها السلف ، وقد تيقنا صحة أحد القولين مثل كون الحامل المتوفى عنها زوجها تعتد لوضع الحمل ، وأن الجماع المجرد عن الإنزال يوجب الغسل ، وأن ربا الفضل حرام ، والمتعة حرام) الآداب الشرعية 186/1
5) يجوز بيان الحق وترجيح الصواب وإن خالف اجتهاد الآخرين:
لكل من المختلفين أن يذكر ما يراه حقاً ، وينشر ما يراه صواباً ، ويرجح ما يراه الراجح ، وله أن يبين أن قول معارضه مرجوح لأن كلمتان العلم لا يجوز ، وعلى كل مجتهد أن يذكر ما يعتقد أنه الحق ، وإن خالف من خالف من الأئمة والعلماء والأقران .
وقد خالف ابن عمر وابن عباس وغيرهما رضي الله عنهما - عمر بن الخطاب ، وأبا بكر الصديق - في متعة الحج ، وأفتيا بخلافهما ، هذا مع كمال الموالاة للصديق والفاروق.
وكان كل إمام وعالم يفتي بما يراه الصواب وإن خالف غيره ، وقد قال الإمام مالك : (ما منا إلا رد ورد عليه إلا صاحب هذا القبر) يعني النبي صلى الله عليه وسلم .
6) لا يجوز حمل الناس على الرأي الاجتهادي:
لا يجوز لعالم مجتهد ، ولا لإمام عام أن يحمل الناس على رأيه واجتهاده .
وقد سئل شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله عمن ولي أمراً من أمور المسلمين ، ومذهبه لا يجوِّز شركة الأبدان فهل يجوز له منع الناس ؟
فأجاب : ليس له منع الناس من مثل ذلك ، ولا من نظائره مما يسوغ فيه الاجتهاد ، وليس معه بالمنع نص من كتاب ، ولا سنة ، ولا إجماع ، ولا ما هو في معنى ذلك ، لا سيما وأكثر العلماء على جواز مثل ذلك ، وهو مما يعمل به عامة المسلمين في عامة الأمصار .
وهذا كما أن الحاكم ليس له أن ينقض حكم غيره في مثل هذه المسائل ، ولا للعالم والمفتي أن يلزم الناس باتباعه في مثل هذه المسائل ، ولهذا لما استشار الرشيد مالكاً أن يحمل الناس على موطئه في مثل هذه المسائل منعه من ذلك .
وقال : إن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم تفرقوا في الأمصار ، وقد أخذ كل قوم من العلم ما بلغهم ، وصنف رجل كتاباً في الاختلاف ، فقال أحمد : لا تسمِّه كتاب الاختلاف ، ولكن سمه كتاب السعة. ولهذا كان بعض العلماء يقول : إجماعهم حجة قاطعة ، واختلافهم رحمة واسعة ، وكان عمر بن عبد العزيز يقول: ما يسرني أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يختلفوا لأنهم إذا اجتمعوا على قول فخالفهم رجل كان ضالاً ، وإذا اختلفوا فأخذ رجل بقول هذا ، ورجل بقول هذا كان في الأمر سعة ، وكذلك قال غير مالك من الأئمة: ليس للفقيه أن يحمل الناس على مذهبه .
ولهذا قال العلماء المصنفون في الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر من أصحاب الشافعي رحمه الله وغيره : إن مثل هذه المسائل الاجتهادية لا تنكر باليد ، وليس لأحد أن يلزم الناس باتباعه فيها ، ولكن يتكلم فيها بالحجج العلمية ، فمن تبين له صحة أحد القولين تبعه ، ومن قلد أهل القول الآخر فلا إنكار عليه ، ونظائر هذه المسائل كثيرة : مثل تنازع الناس في بيع الباقلا الأخضر في قشريه ، وفي بيع المقاثي جملة واحدة ، وبيع المعطاة والسلم، الحال ، واستعمال الماء الكثير بعد وقوع النجاسة فيه إذا لم تغيره ، والتوضؤ من ذلك ، والقراءة بالبسملة سراً أو جهراً ، وترك ذلك ، وتنجيس بول ما يؤكل لحمه وروثه ، أو القول بطهارة ذلك ، وبيع الأعيان الغائبة بالصفة ، وترك ذلك ،والتيمم بضربة أو ضربتين إلى الكوعين ، أو المرفقين والتيمم لكل صلاة أو لوقت كل صلاة أو الاكتفاء بتيمم واحد ، وقبول شهادة أهل الذمة بعضهم على بعض ، أو المنع من قبول شهادتهم .
ومن هذا الباب الشركة بالعروض ، وشركة الوجوه ، والمساقاة على جميع أنواع الشجر والمزارعة على الأرض البيضاء فإن هذه المسائل من جنس الأبدان بل المانعون من هذه المشاركات أكثر من المانعين من مشاركة الأبدان، ومع هذا فما زال المسلمون من عهد نبيهم وإلى اليوم في جميع الأعصار والأمصار يتعاملون بالمزارعة والمساقات ، ولم ينكره عليهم أحد ولو منع الناس مثل هذه المعاملات لتعطل كثير من مصالحهم التي لا يتم دينهم ولا دنياهم إلا بها .

ولهذا كان أبو حنيفة رحمه الله يفتي بأن المزارعة لا تجوز ، ثم يفرع على القول بجوازها ، ويقول (إن الناس لا يأخذون بقولي في المنع ، ولهذا صار صاحباه إلى القول بجوازها كما اختار ذلك من اختار من أصحاب الشافعي وغيره) الفتاوى الكبرى 79/30-81
هذا والحمد لله على منه وإحسانه
******************
***********
*****

SIFAT UJUB

SIFAT UJUB
Salah seorang ulama salaf pernah berkata: “Seorang yang ujub akan tertimpa dua kehinaan, akan terbongkar kesalahan-kesalahannya dan akan jatuh martabatnya di mata manusia.”
Salah seorang ahli hikmah berkata: “Ada seorang yang terkena penyakit ujub, akhirnya ia tergelincir dalam kesalahan karena saking ujubnya terhadap diri sendiri. Ada sebuah pelajaran yang dapat kita ambil dari orang itu, ketika ia berusaha jual mahal dengan kemampuan dirinya, maka Imam Syafi’i pun membantahnya seraya berseru di hadapan khalayak ramai: “Barangsiapa yang mengangkat-angkat diri sendiri secara berlebihan, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjatuhkan martabatnya.”
Defenisi Ujub
Orang yang terkena penyakit ujub akan memandang remeh dosa-dosa yang dilakukannya dan mengang-gapnya bagai angin lalu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan kepada kita dalam sebuah hadits: “Orang yang jahat akan melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, dengan santai dapat diusirnya hanya dengan mengibaskan tangan. Adapun seorang mukmin melihat dosa-dosanya bagaikan duduk di bawah kaki gunung yang siap menimpanya.” (HR. Al-Bukhari)
Bisyr Al-Hafi mendefenisikan ujub sebagai berikut: “Yaitu menganggap hanya amalanmu saja yang banyak dan memandang remeh amalan orang lain.”
Barangkali gejala paling dominan yang tampak pada orang yang terkena penyakit ujub adalah sikap suka melanggar hak dan menyepelekan orang lain.
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah meringkas defenisi ujub sebagai berikut: “Yaitu perasaan takjub terhadap diri sendiri hingga seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh jadi ia tidak dapat beramal sebagus amal saudaranya itu dan boleh jadi saudaranya itu lebih wara’ dari perkara haram dan lebih suci jiwanya ketimbang dirinya!”
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata: “Iblis jika ia dapat melumpuhkan bani Adam dengan salah satu dari tiga perkara ini: ujub terhadap diri sendiri, menganggap amalnya sudah banyak dan lupa terhadap dosa-dosanya. Dia berkata: “Saya tidak akan mencari cara lain.” Semua perkara di atas adalah sumber kebinasaan. Berapa banyak lentera yang padam karena tiupan angin? Berapa banyak ibadah yang rusak karena penyakit ujub? Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa seorang lelaki berkata: “Allah tidak akan mengampuni si Fulan! Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berfirman:
“Siapakah yang lancang bersumpah atas namaKu bahwa Aku tidak mengampuni Fulan?! Sungguh Aku telah mengampuninya dan menghapus amalanmu!” (HR. Muslim)
Amal shalih itu ibarat sinar dan cahaya yang terkadang padam bila dihembus angin ujub!
Sebab-Sebab Ujub
1. Faktor Lingkungan dan Keturunan
Yaitu keluarga dan lingkungan tempat seseorang itu tumbuh. Seorang insan biasanya tumbuh sesuai dengan polesan tangan kedua orang tuanya. Ia akan menyerap kebiasaan-kebiasaan keduanya atau salah satunya yang positif maupun negatif, seperti sikap senang dipuji, selalu menganggap diri suci dll.
2. Sanjungan dan Pujian yang Berlebihan
Sanjungan berlebihan tanpa memperhatikan etika agama dapat diidentikkan dengan penyembelihan, seba-gaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits. Sering kita temui sebagian orang yang terlalu berlebihan dalam memuji hingga seringkali membuat yang dipuji lupa diri. Masalah ini akan kami bahas lebih lanjut pada bab berikut.
3. Bergaul Dengan Orang yang Terkena Penyakit Ujub.
Tidak syak lagi bahwa setiap orang akan melatahi tingkah laku temannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bersabda:
“Perumpamaan teman yang shalih dan teman yang jahat adalah seperti orang yang berteman dengan penjual minyak wangi dan pandai besi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Teman akan membawa pengaruh yang besar dalam kehidupan seseorang.
4. Kufur Nikmat dan Lupa Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Begitu banyak nikmat yang diterima seorang hamba, tetapi ia lupa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberinya nikmat itu. Sehingga hal itu menggiringnya kepada penyakit ujub, ia membanggakan dirinya yang sebenarnya tidak pantas untuk dibanggakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menceritakan kepada kita kisah Qarun;
“Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. (Al-Qashash: 78)
5. Menangani Suatu Pekerjaan Sebelum Matang Dalam Menguasainya dan Belum Terbina Dengan Sempurna
Demi Allah, pada hari ini kita banyak mengeluhkan problematika ini, yang telah banyak menimbulkan berbagai pelanggaran. Sekarang ini banyak kita temui orang-orang yang berlagak pintar persis seperti kata pepatah ‘sudah dipetik sebelum matang’. Berapa banyak orang yang menjadi korban dalam hal ini! Dan itu termasuk perbuatan sia-sia. Yang lebih parah lagi adalah seorang yang mencuat sebagai seorang ulama padahal ia tidak memiliki ilmu sama sekali. Lalu ia berkomentar tentang banyak permasalahan, yang terkadang ia sendiri jahil tentang hal itu. Namun ironinya terkadang kita turut menyokong hal seperti ini. Yaitu dengan memperkenalkannya kepada khalayak umum. Padahal sekarang ini, masyarakat umum itu ibaratnya seperti orang yang menganggap emas seluruh yang berwarna kuning. Kadangkala mereka melihat seorang qari yang merdu bacaannya, atau seorang sastrawan yang lihai berpuisi atau yang lainnya, lalu secara membabi buta mereka mengambil segala sesuatu dari orang itu tanpa terkecuali meskipun orang itu mengelak seraya berkata: “Aku tidak tahu!”
Perlu diketahui bahwa bermain-main dengan sebuah pemikiran lebih berbahaya daripada bermain-main dengan api. Misalnya beberapa orang yang bersepakat untuk memunculkan salah satu di antara mereka menjadi tokoh yang terpandang di tengah-tengah kaumnya, kemudian mengadakan acara penobatannya dan membuat-buat gelar yang tiada terpikul oleh siapa pun. Niscaya pada suatu hari akan tersingkap kebobrokannya. Mengapa!? Sebab perbuatan seperti itu berarti bermain-main dengan pemikiran. Sepintas lalu apa yang mereka ucapkan mungkin benar, namun lambat laun masyarakat akan tahu bahwa mereka telah tertipu!
6. Jahil dan Mengabaikan Hakikat Diri (Lupa Daratan)
Sekiranya seorang insan benar-benar merenungi dirinya, asal-muasal penciptaannya sampai tumbuh menjadi manusia sempurna, niscaya ia tidak akan terkena penyakit ujub. Ia pasti meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar dihindarkan dari penyakit ujub sejauh-jauhnya. Salah seorang penyair bertutur dalam sebuah syair yang ditujukan kepada orang-orang yang terbelenggu penyakit ujub:
“Hai orang yang pongah dalam keangkuhannya.
Lihatlah tempat buang airmu, sebab kotoran itu selalu hina. Sekiranya manusia merenungkan apa yang ada dalam perut mereka, niscaya tidak ada satupun orang yang akan menyombongkan dirinya, baik pemuda maupun orang tua.Apakah ada anggota tubuh yang lebih dimuliakan selain kepala?Namun demikian, lima macam kotoranlah yang keluar darinya!
Hidung beringus sementara telinga baunya tengik.
Tahi mata berselemak sementara dari mulut mengalir air liur. Hai bani Adam yang berasal dari tanah, dan bakal dilahap tanah, tahanlah dirimu (dari kesombongan), karena engkau bakal menjadi santapan kelak.
Penyair ini mengingatkan kita pada asal muasal penciptaan manusia dan keadaan diri mereka serta kesu-dahan hidup mereka. Maka apakah yang mendorong mereka berlagak sombong? Pada awalnya ia berasal dari setetes mani hina, kemudian akan menjadi bangkai yang kotor sedangkan semasa hidupnya ke sana ke mari membawa kotoran.
7. Berbangga-bangga Dengan Nasab dan Keturunan
Seorang insan terkadang memandang mulia diri-nya karena darah biru yang mengalir di tubuhnya. Ia menganggap dirinya lebih utama dari si Fulan dan Fulan. Ia tidak mau mendatangi si Fulan sekalipun berkepentingan. Dan tidak mau mendengarkan ucapan si Fulan. Tidak syak lagi, ini merupakan penyebab utama datangnya penyakit ujub.
Dalam sebuah kisah pada zaman kekhalifahan Umar radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa ketika Jabalah bin Al-Aiham memeluk Islam, ia mengunjungi Baitullah Al-Haram. Sewaktu tengah melakukan thawaf, tanpa sengaja seorang Arab badui menginjak kainnya. Tatkala mengetahui seorang Arab badui telah menginjak kainnya, Jabalah langsung melayangkan tangannya memukul si Arab badui tadi hingga terluka hidungnya. Si Arab badui itu pun melapor kepada Umar radhiyallahu ‘anhu mengadukan tindakan Jabalah tadi. Umar radhiyallahu ‘anhu pun memanggil Jabalah lalu berkata kepadanya: “Engkau harus diqishash wahai Jabalah!” Jabalah membalas: “Apakah engkau menjatuhkan hukum qishash atasku? Aku ini seorang bangsawan sedangkan ia (Arab badui) orang pasaran!” Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Islam telah menyamaratakan antara kalian berdua di hadapan hukum!”
Tidakkah engkau ketahui bahwa:
Islam telah meninggikan derajat Salman seorang pemuda Parsi
Dan menghinakan kedudukan Abu Lahab karena syirik yang dilakukannya.
Ketika Jabalah tidak mendapatkan dalih untuk melepaskan diri dari hukuman, ia pun berkata: “Berikan aku waktu untuk berpikir!” Ternyata Jabalah melarikan diri pada malam hari. Diriwayatkan bahwa Jabalah ini akhirnya murtad dari agama Islam, lalu ia menyesali perbuatannya itu. Wal ‘iyadzubillah
8. Berlebih-lebihan Dalam Memuliakan dan Menghormati
Barangkali inilah hikmahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang sahabat-sahabat beliau untuk berdiri menyambut beliau. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa yang suka agar orang-orang berdiri menyambutnya, maka bersiaplah dia untuk menempati tempatnya di Neraka.” (HR. At-Tirmidzi, beliau katakan: hadits ini hasan)
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah kamu berdiri menyambut seseorang seperti yang dilakukan orang Ajam (non Arab) sesama mereka.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu)
9. Lengah Terhadap Akibat yang Timbul dari Penyakit Ujub
Sekiranya seorang insan menyadari bahwa ia hanya menuai dosa dari penyakit ujub yang menjangkiti dirinya dan menyadari bahwa ujub itu adalah sebuah pelanggaran, sedikitpun ia tidak akan kuasa bersikap ujub. Apalagi jika ia merenungi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
”Sesungguhnya seluruh orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari Kiamat bagaikan semut yang diinjak-injak manusia.” Ada seseorang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah seseorang itu ingin agar baju yang dikenakannya bagus, sandal yang dipakainya juga bagus?” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, dan menyukai keindahan, hakikat sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) awal hadits berbunyi: “Tidak akan masuk Surga orang yang terdapat sebesar biji zarrah kesombongan dalam hatinya).
Dampak ujub
1. Jatuh dalam jerat-jerat kesombongan, sebab ujub merupakan pintu menuju kesombongan.
2. Dijauhkan dari pertolongan Allah. Allah Subahanahu Wata’ala berfirman:
“Orang-orang yang berjihad (untuk mencari keri-dhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Al-Ankabut: 69)
3. Terpuruk dalam menghadapi berbagai krisis dan cobaan kehidupan.
Bila cobaan dan musibah datang menerpa, orang-orang yang terjangkiti penyakit ujub akan berteriak: ‘Oii teman-teman, carilah keselamatan masing-masing!’ Berbeda halnya dengan orang-orang yang teguh di atas perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala , mereka tidak akan melanggar rambu-rambu, sebagaimana yang dituturkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Siapakah yang mampu lari dari hari kematian?
Bukankah hari kematian hari yang telah ditetapkan?
Bila sesuatu yang belum ditetapkan, tentu aku dapat lari darinya.
Namun siapakah yang dapat menghindar dari takdir?
4. Dibenci dan dijauhi orang-orang. Tentu saja, seseorang akan diperlakukan sebagaimana ia memperla-kukan orang lain. Jika ia memperlakukan orang lain dengan baik, niscaya orang lain akan membalas lebih baik kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghor-matan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (An-Nisa’: 86)
Namun seseorang kerap kali meremehkan orang lain, ia menganggap orang lain tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya. Tentu saja tidak ada orang yang senang kepadanya. Sebagaimana kata pepatah ‘Jika engkau menyepelekan orang lain, ingatlah! Orang lain juga akan menyepelekanmu’
5. Azab dan pembalasan cepat ataupun lambat. Se-orang yang terkena penyakit ujub pasti akan merasakan pembalasan atas sikapnya itu. Dalam sebuah hadits dise-butkan:
“Ketika seorang lelaki berjalan dengan mengenakan pakaian yang necis, rambut tersisir rapi sehingga ia takjub pada dirinya sendiri, seketika Allah membenamkannya hingga ia terpuruk ke dasar bumi sampai hari Kiamat.” (HR. Al-Bukhari)
Hukuman ini dirasakannya di dunia akibat sifat ujub. Seandainya ia lolos dari hukuman tersebut di du-nia, yang jelas amalnya pasti terhapus. Dalilnya adalah hadits yang menceritakan tentang seorang yang bersumpah atas nama Allah bahwa si Fulan tidak akan diampuni, ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni si Fulan dan menghapus amalnya sendiri.
Dengan begitu kita harus berhati-hati dari sifat ujub ini, dan hendaknya kita memberikan nasihat kepada orang-orang yang terkena penyakit ujub ini, yaitu orang-orang yang menganggap hebat amal mereka dan menyepelekan amal orang lain.

الغيبة والنميمة
Ghibah ialah membicarakan keburukan/'aib saudaramu ketika ia tidak ada disisimu. Allah telah melarang ghibah dan menyerupa-kannya dengan suatu perumpamaan yang sangat buruk, "Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yaang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah.." (QS. 49:12). Mengghibah seseorang bisa berlaku pada beberapa hal yaitu:
1. kekurangannya yang bersifat fisik
2. nasab atau asal usulnya yang kurang terhormat
3. akhlaknya yang kurang baik
4. agamanya yang kurang sempurna
5. pakaiannya yang kurang baik
6. anaknya.
7. istri atau suaminya
8. pembantu atau budaknya
9. hal ihwal keduniaannya, dan lain-lain

Kesimpulannya, apa saja yang bisa dipahami bahwa itu adalah celaan kepada seseorang maka itu termasuk ghibah baik dengan ucapan, isyarat, menirukan gerak-gerik orang yang di ghibah dan lain-lain
Nabi  pernah bersabda, "Tahukah kalian apakah ghibah itu?" Para sahabat menjawab, "Allah dan RasulNya yang lebih tahu." Beliau bersabda, "Ghibah adalah engkau menyebutkan tentang saudaramu apa yang dia tidak suka (untuk disebutkan)," seseorang berkata, "Bagaimana jika pada saudaraku memang ada apa yang aku katakan itu, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Jika pada saudaramu memang ada yang kau katakan itu maka sungguh engkau telah mengghibahnya, dan jika pada saudaramu tidak ada apa yang engkau katakan itu, maka sungguh engkau telah menuduhnya." (HR. Muslim dan Tirmidzi)

Ketahuilah saudaraku …. Ghibah adalah dosa besar yang banyak menyebar ditengah masyarakat dan sedikit sekali orang yang selamat darinya. Mendengarkan omongan ghibah juga berdosa kecuali jika ia segera mengingkari perbuatan ghibah tersebut dengan lisannya dan jika ia tidak mampu maka dengan hatinya. Jika ia dapat meninggalkan majlis tersebut atau memotong omongan ghibah dengan pembicaraan yang lain maka hal itu wajib dilakukan.

Ancaman bagi orang yang berbuat ghibah :
1. Aisyah ra berkata, "Aku pernah berkata kepada Rasulullah , 'Cukuplah bagimu dari Shofiah itu (salah seorang istri beliau) begini dan begitu (kekurangannya).' -sebagian perawi hadits berkata yakni pendek orangnya- maka beliau bersabda, "Sungguh engkau telah mengucapkan satu kalimat yang seandainya dicampur dengan air lautan niscaya akan mencampurinya." (yakni membuat air laut tersebut berubah rasanya atau warnanya karena buruknya dan busuknya ucapan tersebut. (HR. Abu Dawud dan Trimidzi). Imam An Nawawi berkata, "Ini adalah hadits yang paling keras dalam melarang ghibah sepengetahuan saya."
2. Rasulullah  bersabda," Ketika saya dimi'rajkan saya melewati satu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka mencakar-cakar wajah-wajah dan dada-dada mereka dengan kuku-kuku tersebut, lalu aku berkata "Siapakah mereka itu wahai Jibril?" Dia berkata, "Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia (berbuat ghibah) dan mencemarkan kehormatan manusia." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
3. Rasulullah  bersabda, "Sesungguhnya termasuk riba yang paling besar ialah mencemarkan kehormatan seorang muslim tanpa alasan yang hak." (HR. Abu Dawud)

Saudaraku … jika riba adalah dosa besar yang diancam akan diperangi pelakunya oleh Allah  dan Rasulnya , maka bagaimana halnya dengan suatu dosa yang lebih besar dari pada riba?!
Pengarahan Nabi  Tentang Hubungan Sesama Muslim :
Nabi  bersabda, "Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, tidak boleh mengkhianatinya, tidak boleh mendustainya dan membiarkannya tidak ditolong. Setiap muslim bagi muslim yang lainnya adalah haram kehormatannya, hartanya dan darahnya. Taqwa itu disini. Cukuplah sebagai keburukan (dosa) bagi seseorang jika ia meremehkan saudaranya yang muslim." (HR. Tirmidzi)

NAMIMAH
Namimah adalah menyampaikan omongan sebagian manusia kepada sebagian yang lainnya yang berdampak merusak.
Ancaman bagi orang yang berbuat namimah:
1. Masuk dalam golongan orang-orang yang dicela oleh Allah  sebagaimana firmanNya: "Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah." (QS. 68:11)
2. Tidak akan masuk surga, sebagaimana sabda Nabi , "Tidak akan masuk surga orang yang tukang namimah." (HR. Bukhori dan Muslim). Ini adalah dalil bahwa namimah termasuk dari dosa-dosa besar.
3. Akan disiksa dalam kuburnya. Rasulullah  pernah lewat disamping dua kuburan. Lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya keduanya ini sedang disiksa, dan keduanya disiksa bukan karena sesuatu yang besar –menurut anggapan mereka– justru ia adalah besar. Adapun salah satunya dia dahulu biasa berjalan menyampaikan namimah, sedangkan yang satunya dia tidak hati-hati dari air kencingnya." (HSR. Bukhori dan Muslim)


Nasehat Untuk Setiap Muslim
Saudaraku …. renungkanlah beberapa nasehat berikut agar engkau selamat dari azab Allah  dan beruntung mendapatkan ridhoNya:
1. Allah  berfirman, "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS. 50:18)
Apa saja yang kau ucapkan akan dicatat oleh malaikat-malaikat Allah  dan akan dibalas pada hari kiamat. Karena itu hati-hatilah dari bahaya lidahmu.
2. Boleh jadi engkau menganggap ucapanmu itu suatu yang remeh padahal ia bernilai dosa besar disisi Allah  sebagaimana firmanNya, "(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja.Padahal ia pada sisi Allah adalah besar." (QS. 24:15)
3. Rasulullah  bersabda, "Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang ia tidak memikirkannya –apakah kalimat itu baik atau tidak– akan menyebabkan ia tergelincir ke neraka lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat." ( HR. Bukhari dan Muslim)
4. Rasulullah  bersabda, "Termasuk dari keindahan Islam ialah seseorang meninggalkan apa-apa yang tidak berguna baginya." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
5. Janganlah engkau sia-siakan pahala amal solehmu dengan ghibah atau namimah, karena barangsiapa yang mengghibah seseorang maka nanti pada hari kiamat sebagian dari pahalanya akan diberikan kepada orang yang di ghibahi.

أدب الفتيا

أدب الفتيا
تأليف
الحــافظ جلال الدين السيوطــي
تحقيق
محمد عبد الفتاح سليمان عماوي و محمد أحمد الرواشدة

المكتبة الإسلامي و دار عمار
{
BAB :
HUKUM MEMBERIKAN FATWA

• أجركم على الفتيا أجركم على النار.
Balasan bagi seorang yang berfatwa tanpa berlandaskan ilmu adalah neraka
• من أفتي بفتيا من غير تثبت فإنما إثمه على من أفتاه. رواه الدارمي والحاكم عن أبي غريره. وأخرجه البيهقي : من أفتي بغير علم
Barangsiapa yang berfatwa tanpa berlandaskan ilmu, maka ia akan mendapatkan dosa atas fatwanya itu.
• إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من الناس ولكن يقبضه بقبض العلماء حتى لم يبق عالما اتخذ الناس رؤساء جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا . رواه البخاري ومسلم عن ابن عمر
Sesungguhnya Allah swt tidak akan mencabut ilmu langsung dari seseorang, akan tetapi dengan mematikannya para ulama. sehingga tidak terdapat seorang alimpun dimuka bumi ini, kemudian manusia mengangkat orang bodoh sebagai pemimpin. Setelah itu mereka (para pemimpin) itu ditanya dan memberikan fatwa tanpa berlandaskan ilmu. Maka mereka tersesat dan menyesatkan orang lain.

BAB :
KEWAJIBAN MEMBERI FATWA BAGI YANG MAMPU DAN HARAM MENYEMBUNYIKAN ILMU

• من سئل علما فكتمه ألجم بلجام من نار. رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه والحاكم والبيهقي عن أبي غريرة.
Barangsiapa yang ditanya tentang ilmu, kemudian ia menyembunyikanya padahal ia tahu. Maka ia akan dilemparkan kelembah neraka.
• مثل الذي يتعلم العلم ثم لا يحدث به كمثل الذي يكنز فلا ينفق منه . رواه الطبراني عن أبي غريرة.
Perumpamaan orang yang belajar ilmu kemudian tidak mengamalkannya, seperti halnya orang yang menanam harta ditanah dan tidak menginfakkannya.
• مثل علم لا يظهره صاحبه كمثل كنز لا ينفق منه صاحبه. رواه الطبراني عن ابن عباس.
Permisalan ilmu yang tidak direalisasikan atau diamalkan pemiliknya, seperti halnya harta yang tidak diinfakkan.
•            •• ••              •        
•        

BAB :
TIDAK WAJIB MENJAWAB SETIAP PERTANYAAN YANG DITANYAKAN

• من أفتي الناس في كل يستفتونه فهو مجنون. رواه الدارمي والبيهقي عن ابن مسعود.
Barangsiapa yang memberikan fatwa kepada manusia atau ia selalu menjawab fatwa yang ditanyakannya, maka ia adalah seorang yang gila.
• من أفتي الناس في كل ما يسألونه فهو مجنون . رواه البيهقي عن ابن عباس .
Barangsiapa yang memberikan fatwa kepada manusia atau ia selalu menjawab pertanyaan yang ditanyakannya, maka ia seorang gila.
• لا تعجلوا بالبلية قبل نزولها فإنكم إن لا تعجلوها قبل نزولها لا ينفك المسلمون وفيهم إذا انزلت من إذا قال وفق وسدد وإنكم إن تعجلوها تختلف بكم الأهواء وتأخذوا هكذا هكذا . رواه الدارمي عن وهب بن عمير
Janganlah kamu menyegerakan kedatangan cobaan sebelum datangnya, karena apabila kamu tidak menyegerakannya sebelum turunnya maka ketika ia telah turun pada kaum muslim akan selalu ada orang yang apabila ia berkata dan berfatwa, ia akan selalu benar. Jika kalian tergesa-gesa dengannya, maka hawa nafsu akan mnyetir kamu, sehingga mengambil keputusan dengan cara kira-kira.
• إياكم وهذه العضل فإنها إذا نزلت بعث الله لها من يقيمها أو يفسرها . رواه البيهقي عن عمر بن الخطاب.
Hendaklah kamu menjahui pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan muskil, karena apabila ia telah turun, maka allah akan mengutus orang yang akan meluruskan dan menafsirkannya.

BAB
ANJURAN MENGATAKAN “LAA ADRII” JIKA TIDAK TAHU

• العلم ثلاثة : كتاب ناطق وسنة ماضية ولا أدري
Ilmu itu ada tiga: kitab natiq (al quran), sunnah rasul dan perkataan laa adri (saya tidak tahu)
• إذا سئل أحدكم عما لا يدري فليقل : لا أدري فإنه ثلث العلم
Jika diantara kalian ditanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui, hendaknya ia mengatakan "laa adri", karena sesungguhnya perkataan laa adri itu merupakan sepertiga ilmu.
• لا أدري نصف العلم
Perkataan "laa adr"i adalah setengah dari ilmu
• ألا أدلكم على علم كبير قالوا: بلى قال: إذا سئل الرجل عما لا يعلم أن يقول : الله ورسوله أعلم
Tidakkah kalian ingin aku tunjukkan ilmu yang besar? Para shahabat menjawab: ya rasulallah, kemudian rasulullah bersabda, "jika seseorang ditanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahuinya, hendaknya ia mengatakan, "allah dan rasulnya lebih mengetahuinya".
• لا أعلم ، ثم قال ويل لمن يقول لما لا يعلم إني أعلم
Said bin zubair ditanya tentang sesuatu sedangkan ia tidak mengetahuinya, dan ia mengatakan, "laa adri", kemudian berkata, "celaka bagi seorang yang mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahuinya dengan perkataan "inni a'lam" (saya mengetahuinya).

BAB
TENTANG BACAAN YANG DIUCAPKAN SEBELUM MEMBERI FATWA

• كان ابن المسيب لا يكاد يفتي فتيا إلا قال: اللهم سلمني وسلم مني.
Tidaklah ibnu musayyab jika hendak menberikan fatwa melainkan berdoa, "yaa allah peliharalah aku dan selamatkan dariku (lisanku dari sesuatu yang tidak benar).

BAB
BOLEH MEMBERI FATWA DENGAN MINTA IZIN KEPADA ORANG YANG LEBIH ALIM

• كان معاذ بن جبل يفتي الناس بالمدينة في حياة رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر
Adalah muadz bin jabal ra memberikan fatwa dikota madinah pada masa rasulullah saw dan abu bakar ra.
• أعلم أمتي بالحلال والحرام معاذ بن جبل
Umatku yang paling alim tentang masalah halal dan haram adalah muadz bin jabal
• من كان يريد أن يسأل عن الفقه فليأت معاذ بن جبل
Barangsiapa yang ingin bertannya tentang masalah fikih, hendaknya ia datang kepada muadz bin jabal ra

BAB
MEMBERI GELAR KEPADA ULAMA

• كان سعيد بن المسيب عالم العلماء
Said bin musayyab adalah ulama yang paling alim diantara ulama lainnya.

BAB
TENANG KETIKA MEMBERIAKN FATWA
• استفت نفسك ثلاث مرات ((البر ما اطمأنت له النفس والإثم ما حاك في نفسك وتردد في صدرك وإن أفتاك الناس وأفتوك)).
Mintalah pendapat dari hatimu tiga kali : kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya